Menulis tentang Hal Biasa

Pegang persik itu, cobalah beratnya, manisnya

dan kematian begitu bulat dan hangat

di telapakmu.

Dan, begitulah

beban kenangan…

 

Dalam puisi ini, “The Weight of Sweetness”, penyair Li-Young Lee, sambil menulis mengenai sesuatu sebiasa sebuah persik, dapat menyelipkan ke dalam tulisan itu mengenai kematian dan “berat kenangan”. Dia menemukan jejak dari persik ke suatu cerita mengenai ayahnya dan dia semasa kanak-kanak, sebuah cerita yang menunjukkan pahit manisnya kenangan. Sebuah puisi yang luar biasa, dan semuanya dimulai dengan sesuatu yang biasa semisal buah persik.

Makanan adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan sehari-hari penulis dan pembaca mana pun. Harum roti panggang, desis dan percik sosis goreng, rasa asin-manis jagung manis berlumur mentega pada musim panas, adalah gambaran yang tidak asing bagi sebagian besar pembaca. Namun, aroma, suara, dan rasa yang umum dapat memberi kesan serta arti berbeda, bergantung pada bagaimana kamu menggunakannya. Misalnya, bunyi sosis digoreng dalam wajan mungkin mengingatkan Sabtu pagi yang menyenangkan ketika seluruh keluarga berkumpul untuk sarapan yang membangkitkan selera. Sebaliknya, juga dapat memberi kesan penderitaan di atas tungku panas, tepercik minyak yang berdesis. Pada keduanya, kesan yang ada menghasilkan suatu reaksi dan tanggapan emosional.

Makanan dapat menceritakan dongeng mengenai tokoh-tokoh dalam tulisanmu dan bagaimana mereka berhubungan satu sama lain. Dalam novel Amy Tan, The Joy Luck Club, misalnya, ada satu bagian seperti ini: “Sebagaimana dalam budaya orang Cina, ibu saya selalu membuat komentar meremehkan terhadap masakannya sendiri. Malam itu dia menujukan pada babi kukusnya dan hidangan sayuran yang diawetkannya yang terkenal, yang selalu disajikan dengan kebanggan istimewa. ‘Ah! Masakan ini kurang asin, tidak berselera.’ keluhnya, setelah mencicipi segigit kecil. ‘Tidak enak untuk dimakan.’ Ini adalah isyarat bagi keluarga kami untuk memakannya sedikit dan mengatakan sebagai yang terbaik yang pernah Ibu buat.” Makanan adalah universal, namun pribadi. Kamu dapat menggunakannya dalam tulisanmu untuk menambahkan kedalaman dan dimensi pada seorang tokoh atau adegan tertentu.

BACA JUGA:   5 Langkah Menulis Laporan yang Baik dan Benar

Pastikan kamu memilih kesanmu secara hati-hati. Sesuatu seperti ini …

Ayah saya membawa salad yang terdiri dari selada, tomat, mentimun, dan potongan roti goreng ke atas meja. Dia meletakkannya di samping spageti dengan saus marinara, kemudian mengedarkan beberapa roti gandum.

… hanya akan memberi tahu pembacamu tentang keluargamu yang tengah menikmati santapan dengan gizi berimbang. Sebaliknya, sesuatu seperti ini …

Seonggok spageti dengan saus merah duduk dalam sebuah mangkuk tepat di tengah meja. Ayah, masih memakai celemeknya, berseri-seri melihatnya. Kami menatap mangkuk penuh itu, berharap orang lain akan memiliki keberanian untuk mengambil sendokan pertama. Tak seorang pun memiliki keberanian untuk memberi tahu bahwa “saus rahasia”-nya biasanya terasa bagai saus tomat hangus.

… akan memberi kepada pembacamu kesan lucu terhadap ayahmu dan keluargamu yang lain.

 

Seperti sebuah lagu favorit, makanan dapat menjadi sebuah papan jungkit emosional untuk tulisanmu. Makanan merupakan sesuatu yang pribadi, namun pada saat yang sama, setiap orang dapat terhubung dengannya. Lihat apa yang terjadi saat kamu menjelajahi hal-hal biasa, hal-hal keseharian seperti makanan, dalam tulisanmu. Dapatkah itu mengungkap sesuatu mengenai keluargamu, teman-temanmu, atau kehidupanmu?

 

Nulis, Yuk! …

Luangkan waktu sejenak untuk membayangkan apa kira-kira santapan paling hebat. Jika kamu dapat memilih siapa saja, dulu atau sekarang, untuk menemanimu menikmati makanan itu, siapa dia? Seluruh keluargamu? Bintang film favoritmu? Atau apakah kamu lebih suka makan malam sendirian? Di mana santapan itu disajikan, di atas selimut dalam cahaya rembulan di sebuah pulau tropis yang ditinggalkan, atau di ruang tengah apartemen mungil nenekmu dengan banyak anak-anak berlarian? Berapa porsi yang akan kamu santap?

BACA JUGA:   Belajar Merevisi: Fokus dan Koreksi Sejak Awal hingga Akhir

Tutup matamu dan bayangkan tempat, teman, makanan, piring-piring, peralatan makan, taplak meja, dan perabotannya. Kemudian, mulailah menulis, gambarkan secara terperinci mengapa ini merupakan santapan terhebat dalam hidupmu. Berikut ini adalah beberapa gagasan yang dapat kamu gunakan:

  • Bagaimana makanan itu disiapkan dan disajikan?
  • Seperti apakah rasanya?
  • Siapa yang menyiapkan makanan itu?
  • Busana apa yang kamu kenakan, juga busana tamumu?
  • Bagaimana penerangan tempat itu dalam guyuran sinar matahari, lilin, atau lampu-lampu?
  • Apakah santapan ini untuk acara khusus: ulang tahunmu, pembukaan film, reuni keluarga besar?
  • Bagaimana kamu menyantap hidangannya: secaraperlahan, cepat-cepat, dengan sumpit?
  • Jangan lupakan pencuci mulutnya!

 

Ia menjinjing sebuah keranjang di depan saya dan menoleh untuk tersenyum. Saya balas tersenyum. Kami berjalan melintasi bukit-bukit pasir di sebuah pantai yang sepi dan kosong di suatu tempat di Carolina Utara. Matahari baru saja terbit, dan langit dipenuhi dengan sinar ungu tua dan abu-abu serta merah menyala menyelimuti awan.

Segera ia berhenti. Saya membentangkan sebuah selimut ungu lembut, dan kami duduk. Ia membuka keranjang itu dan mengeluarkan, satu per satu, sarapan pagi kami yang lezat: selai jeruk, setumpuk daging kukus yang hangat dan renyah, roti pangang Prancis yang diisi dengan keju krim aprikot, sirup mapel asli, melon madu, limun anggur bersoda, dan setermos decaf latte kacang. Saya mengeluarkan porselen biru-putih bergambar pagoda Cina, dua mug berwarna-salem, dan dua gelas anggur untuk sodanya.

Kemudian, kami makan. Tetapi tidak dengan cara biasa. Ia melayani piring saya, dan saya melayani piringnya. Dengan hati-hati dan penuh mesra kami saling menyuapi satu sama lain. Setelah sarapan pagi, kami berbaring di selimut, menyaksikan awan-awan bergerak ke dalam satu bentuk binatang dan kemudian bentuk-bentuk lainnya. Dan kami berpegangan tangan, sama-sama bertanya seperti apa rasanya ciuman pertama.

Diana, 17.[]

Sumber: disalin dari buku “Daripada Bete Nulis Aja!”, karangan Carry Mirriam-Goldberg, Ph.D., terbitan Kaifa for Teens, hal. 94-97.

BACA JUGA:   Revisi Lebih Dalam: Menyimpan "Kesayangan-Kesayangan"-Mu

Leave a Comment