FENOMENA PENERBITAN BUKU SAAT INI

Makin hari makin banyak saja yang berseteru soal copyright. Makin lama makin penting EDITOR BUKU menjaga unsur safety bagi penerbit tempatnya bernaung. Editor selayaknya melek copyright dan peka terhadap upaya-upaya pelanggaran copyright yang dilakukan penulis, penerjemah, penerbit lain, ataupun penerbit tempatnya bernaung akibat ketidaktahuan maupun ketidakpedulian.

Baru-baru ini, saya pernah menggugat seorang penerjemah yang menawarkan naskah dan mengaku telah mendapatkan izin tertulis dari penerbit lewat e-mail. E-mail yang dimaksud tidak pernah ada karena terbawa di dalam laptop temannya (sesuatu yang nggak masuk akal). Lalu, setelah dia berargumentasi, saya setuju membayar upah penerjemahan dan copyright dengan surat pernyataan khusus tentang copyright. Tidak berapa lama (feeling yang saya rasakan ada yang tidak beres), buku tersebut diterbitkan oleh Hikmah dengan judul (saya agak lupa) “Muhammad saw dalam Kitab Hindu, Budha, dan Zoroaster”. Itulah buku yang diklaim, copyrightnya sudah didapatkan dari penerbit di India. Saya hanya mengembalikan sesuai dengan surat pernyataan sang penerjemah tadi, dan meminta kembali sepenuhnya upah yang telah kami bayarkan. Ketika diancam hendak dimejahijaukan, barulah ia berusaha datang dan menjelaskan kekeliruannya.

Beberapa tahun lewat, saya juga pernah menolak seorang penulis buku model kumpulan tulisan (republishing article) karya seorang pakar komunikasi. Sewaktu itu, saya masih menjadi copyeditor di Penerbit Rosda. Saya merasa pernah melihat tulisan yang diklaimnya belum pernah terbit menjadi buku. Saya menggunakan keterampilan mengoneksi memori, namun saya memutuskan untuk memastikannya di toko buku Gramedia. Benarlah saya menemukan buku di rak komunikasi dari pakar tersebut yang berupa kumpulan tulisan juga. Buku itu isinya mirip dengan yang ditawarkan si penulis tadi. Hampir saja kecolongan.. ..

Penulis yang membajak ide orang lain? Juga bisa terdeteksi dan terlihat dengan keterampilan atau kecerdasan mengoneksi (connecting quotient) sang editor. Apakah rekan-rekan editor pernah mengalaminya? Apakah Anda pernah melatihkan kemampuan mengoneksinya ini? Hal pertama yang harus dilakukan adalah juga memahami banyak hal tentang copyright.

Editor memang sudah seharusnya melek copyright, bahkan paham copyright agar benar-benar menjadi benteng pertahanan kukuh dari penerbit. Perhatikan, apakah editor paham tentang pernyataan hak cipta (copyright notice) berikut ini?

“Hak cipta ada pada Penerbit.”
“Hak cipta ada pada Penulis. Hak penerbitan ada pada Penerbit.”

Pengertian pertama berarti ada kemungkinan hak cipta sudah dijual atau dialihkan sepenuhnya kepada penerbit sehingga Penerbit disebut juga pemegang hak cipta. Pencipta/Penulis hanya tinggal memiliki hak moral.

Pengertian yang kedua berarti hak cipta tidak dialihkan, tetapi hak eksploitasi (hak ekonomi) diberikan secara eksklusif kepada penerbit. Pencipta/Penulis tetap disebut pemegang hak cipta.

Sungguh berbeda dan hal ini harus ditelusuri melalui perjanjian penerbitan. Jika editor tidak paham, dia pun bisa terbawa-bawa sebagai pihak yang melanggar hak cipta karena namanya turut dicantumkan di halaman copyright. Jika editor tidak paham, dia pun bisa meloloskan sebuah karya yang melanggar sehingga merugikan penerbit.[]


*Oleh Bambang Trim, praktisi perbukuan nasional.
Pemateri Pelatihan Professional Editing yang diselenggarakan oleh InterMedia.

**sumber: www.bambangtrim.com/editor-seharusnya-melek-copyright/