Ejaan yang Disempurnakan atau EYD bahasa Indonesia tetap menjadi acuan bagi para penerbit yang menyadari pentingnya penerapan bahasa Indonesia standar dalam karya atau produk bernama buku.

Karena itu, bagi banyak penerbit, salah satu poin kriteria kelayakan naskah adalah naskah ditulis dengan bahasa Indonesia yang standar atau mengikuti pedoman EYD, terutama untuk naskah-naskah nonfiksi. Namun, dalam praktiknya, penerapan penulisan EYD tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan oleh penerbit serta tidak semua naskah ditulis dengan penerapan EYD bahasa Indonesia yang benar.

Ada dua kasus yang melatari penerapan EYD sebagai salah satu kriteria kelayakan naskah. Kasus pertama, yaitu terkadang tidak mampunya Pedoman EYD menjawab beberapa persoalan dalam masalah tatatulis naskah, baik dalam penggunaan kata baku, istilah, tanda baca, maupun singkatan/akronim.

Kasus kedua yaitu kurangnya pemahaman penulis naskah, termasuk penerjemah, terhadap EYD bahasa indonesia itu sendiri sehingga kesalahan-kesalahan elementer dalam penulisan naskah masih sering terjadi, seperti penggunaan kata nonbaku dan penggunaan tanda baca yang keliru.

Dalam kasus pertama, buku Pedoman EYD ataupun Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak bisa semata-mata dijadikan acuan untuk menilai kelayakan naskah, pun termasuk dijadikan satu-satunya referensi untuk penyuntingan naskah. Karena itu, para penulis ataupun penerbit perlu mencari solusi kebahasaan yang lain dan menetapkan suatu keputusan yang ajek sebagai gaya penulisan.

Sebetulnya masalah untuk kasus pertama ini sudah lama dikaji dan akhirnya muncullah gagasan membuat semacam buku pedoman gaya selingkung (house style) penerbitan dalam bahasa Indonesia. Pada awalnya gagasan ini akan dilaksanakan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas. Akan tetapi, entah mengapa sampai sekarang buku pedoman gaya selingkung ini tidak pernah selesai.

Di pihak lain, beberapa institusi penerbitan profesional (media massa dan penerbit buku) menyusun sendiri buku pedoman gaya selingkung penerbit dan menetapkan aturan-aturan tersendiri dalam hal kebahasaan. Penetapan gaya selingkung yang paling mencolok dilakukan oleh para penerbit Islam yang umumnya kurang bisa menerima pedoman kata baku yang dimuat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya kata salat, mesjid, salawat, dan kalbu diganti menjadi shalat, masjid, shalawat, dan qolbu.

Untuk kasus kedua, mungkin sudah menjadi fenomena betapa seorang penulis ataupun penerjemah merasa tidak berkepentingan mengetahui lebih jauh tatatulis naskah berdasarkan EYD atau bahasa Indonesia yang baku. Pengetahuan terbatas mereka soal bahasa Indonesia dipergunakan dalam bahasa tulis sehingga menimbulkan banyak kekeliruan dalam hal penerapan standar bahasa maupun kerancuan di dalam naskah. Hal ini semakin sering terjadi manakala kampanye bahasa baku Indonesia agak kendur sejak lebih dari satu dekade lalu. Selain itu, pelatihan menulis ataupun menerjemahkan dengan mendatangkan ahli bahasa Indonesia juga sangat minim diselenggarakan.

7 Aspek yang Disunting

Dalam konteks penyuntingan naskah, ada tujuh aspek yang disunting sebagai indikator penilaian kelayakan naskah. Adapun ketujuh aspek tersebut sebagai berikut:
1. keterbacaan (readability) dan kejelasan (legibility);
2. ketaatasasan atau konsistensi;
3. ketatabahasaaan;
4. kemenarikan gaya bahasa;
5. ketelitian fakta dan data;
6. kesopanan dan kelegalan;
7. kehematan produksi (rincian biaya dan spesifikasi produk).

Dari ketujuh aspek tersebut terlihat bahwa masalah keterbacaan dan kebahasaan naskah juga menjadi poin penting. Naskah yang mengandung banyak kesalahan bahasa tentu memiliki tingkat keterbacaan serta kejelasan yang rendah sehingga bisa merepotkan pembaca sasaran. Untuk itu, penyunting menggunakan empati dengan menempatkan diri sebagai pembaca sasaran, sekaligus menggunakan pengetahuan kebahasaannya guna membantu penulis/penerjemah menampilkan naskah yang layak baca.

Hal itulah yang menjadi filosofi penyuntingan naskah bahwa penyunting berfungsi menjembatani antara kepentingan penulis/penerjemah dan pembaca sasaran. Dalam hal penulisan EYD, editor bertugas mematut ejaan yang terdapat di dalam naskah.

Apa yang dilakukan penyunting terhadap sebuah naskah?

Ada lima aktivitas yang dilakukan dalam penyuntingan naskah sebagai berikut.
• Pengabaian yaitu tetap membiarkan bagian naskah apa adanya karena sudah benar, akurat, atau memenuhi syarat layak dari penerbit.
• Perbaikan/penyesuaian yaitu memperbaiki bagian naskah sesuai dengan kaidah bahasa ataupun gaya selingkung.
• Pengubahan yaitu mengubah kalimat, paragraf, atau struktur dalam naskah sesuai dengan kejelasan dan standar yang ditetapkan penerbit sehingga naskah memiliki keterbacaan tinggi.
• Pengurangan yaitu menghilangkan bagian naskah tertentu dalam hal bagian tersebut tidak diperlukan ataupun guna mengefisienkan halaman atau mengepaskan halaman hingga berkelipatan 8.
• Penambahan yaitu menambahi bagian naskah yang dianggap penting untuk dimasukkan ataupun guna mengepaskan halaman hingga berkelipatan 8.

Kesalahan dalam penerapan EYD kerap terdapat di dalam naskah, apalagi naskah terjemahan. Kesalahan yang paling umum terdapat adalah:
• kesalahan penulisan kata baku: sekedar, hembus, silahkan, ketinggalan;
• kesalahan pemilihan kata (diksi): kilah, bergeming, acuh;
• kesalahan pemenggalan kata (utamanya juga diakibatkan sistem otomatis pemenggalan dalam program komputer berbasis bahasa Inggris);
• kesalahan penggunaan tanda baca, terutama tanda tanya (?) dan tanda koma (,);
• kesalahan penggunaan huruf kapital;
• kesalahan penulisan unsur serapan: frekwensi, hipotesa, aktifitas.

Kesalahan seperti ini meskipun tidak mengubah makna, jelas merepotkan dan mengganggu kelancaran baca. Karena itu, apabila ada naskah yang kacau dalam penulisan EYD Bahasa Indonesia, penerbit akan menyarankan untuk memperbaiki terlebih dahulu dengan catatan ide naskah sangat baik. Khusus untuk naskah terjemahan, penerbit akan lebih berhati-hati karena kekacauan penerapan EYD memungkinkan juga adanya kesalahan tafsir dalam penerjemahan.

Kelayakan Naskah Terjemahan

Di luar aspek ide ataupun fenomena buku yang menjadi best seller dunia dan ditulis oleh penulis/pengarang ternama, aspek kebahasaan naskah terjemahan tentu menjadi faktor penting penilaian kelayakan terbit naskah. Terkadang naskah yang sudah diterjemahkan dan hasilnya mengecewakan, penerbit akan mengulang kembali proses penerjemahan dengan mengganti penerjemah. Di sisi lain, penyunting penerbit yang menerima naskah terjemahan dengan kualitas rendah akan ‘berjibaku’ melakukan penyuntingan berat atau dengan kata lain menerjemahkan ulang naskah.

Pengadaan naskah terjemahan umumnya adalah solicited atau naskah yang memang diprogramkan penerjemahannya dan diurus pengalihan copyright-nya oleh penerbit. Karena itu, naskah terpilih ini memang sudah dipertimbangkan dari segi ide dan gaya penulisannya oleh penerbit.

Akan tetapi, jika penerjemah tidak berhasil menghasilkan hasil terjemahan naskah sesuai dengan kualitas naskah aslinya, naskah pun tidak layak diterbitkan karena akan membahayakan imej penerbit sekaligus mengecewakan pembaca.

Banyak kasus naskah terjemahan dari buku-buku berkualitas dunia akhirnya menjadi turun kualitasnya karena persoalan bahasa yang buruk. Tentu menjadi keprihatinan kita bersama manakala baik penerjemah maupun penerbit tidak memiliki idealisme untuk menghasilkan naskah terjemahan yang baik dengan mau berpayah-payah menerapkan bahasa Indonesia yang standar. Alhasil, citra penerbit Indonesia juga menjadi buruk di mata penerbit asing karena kita dianggap merusakkan karya bermutu mereka.[]


*) Oleh Bambang Trim, praktisi perbukuan nasional.
Pemateri Pelatihan Professional Editing yang diselenggarakan oleh Sekolah-Menulis.com

**Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam acara Pelatihan Penerjemahan dan Penyuntingan, Program Pascasarjana Bahasa Inggris, UPI, Bandung, 20 Mei 2006.