Sejarah Kepemimpina Perempuan di Indonesia

Lemah dan emosional.

Mungkin kesan itu yang terlintas di pikiran kita saat menjumpai kata ‘perempuan’. Namun kita tidak bisa berpikiran sempit dan men-stereotype semua perempuan di dunia ini adalah lemah dan emosional. Bagaimanapun, kita tidak dapat melupakan peran penting perempuan dalam sejarah perkembangan Indonesia.

Misalnya saja seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni, terkenal dengan julukan ‘ratu di atas segala ratu’, yang wafat pada tahun 1350 dan diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran Kerajaan Majapahit. Majapahit sendiri merupakan kerajaan Hindu-Budha yang tergolong anti-perempuan sebagai penggerak pemerintahannya.

Namun hasil kajian yang dilakukan oleh sejarawan Earl Dark, yang juga mantan Dubes Canada untuk Indonesia, membuktikan, bahwa puncak kejayaan Majapahit justru tercapai karena peran sentral Gayatri, istri Raden Widjaya, ibunda ratu ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk, raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah menjabat resmi sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang sangat luar biasa di Nusantara kala itu.

Di era Kolonialisme Belanda, kita juga mengenal RA Kartini. Ia merupakan pemimpin perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan melalui emansipasi dalam bidang pendidikan.

Selanjutnya tokoh Supeni, dikenal sebagai politikus wanita yang menduduki berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui partai PNI. Sebagai diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno.

Pada era pasca Orde Baru kita mengenal tokoh Megawati Soekarnoputri, wanita yang menjadi Presiden Indonesia kelima dengan masa jabatan 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.

Terakhir kita mengenal beberapa nama yang menduduki jabatan sebagai menteri perempuan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla, diantaranya Seperti Susi Pudjiastuti – Menteri Kelautan dan Perikanan, Khofifah Indar Parawansa – Menteri Sosial, Sri Mulyani Indrawati – Menteri Keuangan dan sederet nama lainnya.

Dari uraian tersebut menunjukan dan telah membuktikan bahwa perempuan juga memiliki potensi menjadi pemimpin dengan segudang harapan dan keberhasilan.

Demokrasi: Hak Perempuan Menjadi Pemimpin

Menurut KBBI, Demokrasi memiliki 2 arti, yaitu :

  1. Demokrasi merupakan suatu bentuk atau sistem pemerintahan dimana seluruh rakyatnya ikut serta dalam memerintah, yaitu melalui perantara wakil-wakil terpilih mereka.
  1. Demokrasi merupakan suatu gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi semua warga negaranya.
  1. Kita garis bawahi frasa ‘persamaan hak dan kewajiban’ serta ‘perlakuan yang sama bagi semua warna negara’. Sudah jelas tertulis bahwa demokrasi berarti kesetaraan dan kesamaan. Ini berlaku dalam segala aspek. Entah itu masalah ras, agama, maupun gender, semua orang berhak mendapatkan perlakuan yang sama.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat (1) berbunyi, “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Pasal 28H ayat (2) yang berbunyi, “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang Dasar bahwa perempuan berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam pemerintahan. Artinya, perempuan berhak menjadi pemimpin negara. Bukan hanya itu, terdapat pula penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Namun, apakah bukti legalitas hukum saja cukup?

Perlu kita perhatikan pula, konsep demokrasi ini berasal dari barat. Indonesia tidak serta merta menganut paham demokrasi tanpa filter. Maka munculah demokrasi pancasila, yaitu demokrasi yang telah disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Apa itu demokrasi pancasila?

Prof. Dardji Darmo Diharjo mengungkapkan bahwa pengertian demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber dari kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945.

Dalam Pembukaan UUD 1945, tepatnya di bagian akhir, terdapat kutipan pancasila. Yang perlu digarisbawahi adalah pancasila poin pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila pengertian demokrasi pancasila adalah demokrasi yang perwujudannya berdasar Pembukaan UUD 1945,  maka kita bisa menyimpulkan bahwa demokrasi Indonesia haruslah mengikuti  aturan-aturan agama.

Agama: Fitrah Perempuan Adalah Dipimpin, Bukan Memimpin

Apabila undang-undang adalah aturan sebagai warna negara, maka agama adalah aturan sebagai makhluk Tuhan. Tentu saja undang-undang dibuat dengan mengacu pada aturan agama, tetapi perbedaan agama yang bermacam-macam inilah yang membuat ‘pedoman warna negara’ itu melewati berbagai proses penyesuaian.

Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk tingkah laku dalam berpolitik.

Lalu, apakah kepemimpinan perempuan diperbolehkan oleh agama Islam? Mari kita telaah beberapa potongan ayat suci Al-Qur’an dan Hadist berikut.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’: 34)

Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki. Khalifah dan imam sholat pun diharuskan berjenis kelamin laki-laki. Hal ini juga didukung oleh sabda Rasulullah SAW, “suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.”Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim pada tafsir surat An Nisaa’ ayat 34)

Kita bisa berargumen bahwa terdapat banyak pemimpin wanita yang sangat mampu dalam menjalankan amanahnya. Sisi keibuan wanita terkadang diperlukan pula dalam kasus-kasus tertentu. Kita bisa mengangkat tangan ke udara dan berkata, “ini adalah ketidakadilan!”. Namun sekali lagi, apakah benar demikian? Bukankah agama memberikan suatu aturan dengan mempertimbangkan dampak dan manfaat?

“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang benar. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.”  (QS. Al-Baqarah: 228)

Allah telah menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini dengan keseimbangan. Ini pun berlaku bagi peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam banyak aspek. Namun, laki-laki memiliki beberapa keunggulan pula di atas perempuan, salah satunya dalam hal kepemimpinan. Apa yang menyebabkannya? Perbedaan hormon. Kepemimpinan cenderung menuntut pribadi yang tegas dan berpikiran rasional. Sedangkan fitrah perempuan adalah lemah lembut dan emosional. Sama sekali bertolak belakang dengan kriteria pemimpin.

Lalu, apakah perempuan benar-benar dilarang memimpin? Ini tidak adil!

“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadist Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Sekali lagi, sebuah hadist mematahkan teori ‘ketidakadilan’ yang kita, orang awam, lontarkan begitu saja tanpa pikir panjang. Dalam hadist tersebut telah jelas dikatakan bahwa perempuan pun adalah pemimpin, yaitu pemimpin dalam rumah suaminya. Artinya, ruang lingkup kepemimpinan wanita hanyalah dalam rumah suaminya, sebagai pemimpin bagi anak-anaknya dan urusan rumah tangga.

Mengapa ruang lingkupnya kecil sekali?

Kita juga tidak boleh melupakan sabda  Rasulullah SAW yang berbunyi, “tidak boleh bagi seorang wanita keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin dari suaminya.” (HR Ath Thabrani)

Jelaslah bahwa Islam tidak menganjurkan kepemimpinan wanita di luar rumah karena alasan ini. Perempuan sudah menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Perempuan mengurusi hampir segala hal dalam rumah tangga dan hampir tidak memiliki waktu untuk hal lainnya.

Kesimpulan

Perebedaan otak laki-laki dan perempuan adalah dalam hal menangani suatu pekerjaan yang berdampak dalam perbedaan hasil. Secara general, otak laki-laki dirancang untuk menangai  pekerjaan yang memiliki sistematika, seperti pemerintahan atau militer. Sementara perempuan lebih cocok dengan lingkungan feminin seperti pendidikan.

Secara hukum, perempuan memang diperbolehkan untuk menjadi pemimpin. Namun secara agama, perempuan tidak diperbolehkan, karena:

  1. perempuan telah menjadi pemimpin dalam rumah tangga suaminya.
  2. perempuan hanya boleh melakukan kegiatan di luar rumah dengan izin suami.
  3. kepemimpinan tidak sesuai dengan fitrah perempuan yang lemah lembut dan emosional.

______________________________________________________________________________

http://www.qureta.com/post/perempuan-sebagai-pemimpin-negara-antara-demokrasi-dan-agama