Rekonstruksi Makna Pemimpin

Realita Kondisi Bangsa
“Jatuh bangunnya segala sesuatu, bergantung pada pemimpin”. Demikanlah pernyataan John Maxwell, seorang pakar kepemimpinan dunia. Pernyataan ini mengandung arti bahwa sebuah organisasi dalam berbagai skala dan bentuk–mulai dari keluarga, sekolah, komunitas tertentu, hingga bangsa dan negara–sangat bergantung pada pemimpin. Jika pemimpinnya baik, maka dapat dipastikan bahwa organisasi yang dipimpinnya akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika pemimpinnya buruk, maka organisasi yang dipimpinnya akan mengalami kemunduran; dan bukan tidak mungkin akan mengalami kejatuhan. Jelaslah, bahwa jatuh bangunnya segala sesuatu, bergantung pada pemimpin.

Lihatlah kondisi Indonesia saat ini! Adakah perubahan signifikan yang terjadi sejak Indonesia merdeka, 64 tahun yang lalu? Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan tidak ada perubahan signifikan yang terjadi pada bangsa kita. Bukannya membaik, malah keadaan Indonesia semakin memburuk. Mari buka mata dan pasang telinga lebar-lebar! Krisis terjadi hampir di segala bidang. Politik Indonesia Indonesia kerap diwarnai dengan pertentangan antarpartai yang bersitegang demi mengokohkan kedudukannya di pemerintahan.

Kasus Sipadan dan Ligitan, serta isu pulau-pulau yang dijual, membuktikan pertahanan negara yang rapuh. Klaim-klaim negara lain atas hak milik negara–mulai dari makanan khas Indonesia seperti rendang dan tempe, hingga seni dan budaya seperti reog dan batik–menjadi bukti tidak acuhnya negara dalam memelihara aset-aset berharga milik bangsa.

Dalam bidang pendidikan, peraturan-peraturan baru yang ditetapkan sehubungan dengan sistem ujian akhir, mendapat tentangan dari berbagai pihak. Kemiskinan pun merajalela. Masih banyak rakyat kecil yang berpendapatan hanya Rp10.000/hari dan makan hanya dengan menggunakan nasi aking. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Bahkan warga Desa Krambilsawit di Gunungkidul, harus mengeluarkan uang sebesar Rp150.000 untuk membeli 5.000 liter air (Kompas, 31/08/09). Rakyat kecil berteriak karena harga bahan-bahan pokok sulit dijangkau dan hak-hak mereka ditindas. TKW Indonesia yang menjadi pahlawan devisa negara, ternyata sering mendapat perlakuan buruk dari majikannya; disiksa dan bahkan sampai meninggal. Sungguh miris dan sangat ironis!

Kondisi bangsa tersebut, hanya bagian kecil saja dari keseluruhan kondisi bangsa yang semakin merosot dan “jatuh”. Masih banyak kasus-kasus memiriskan lainnya, yang membuat mata terbelalak dan bulu kuduk merinding.

Realita Kondisi Pemimpin Bangsa
Kalau kita mau jujur, kondisi bangsa yang sedemikian kronis tersebut, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kondisi pemimpin bangsa. Merosotnya keadaan bangsa, merupakan dampak langsung dari merosotnya kualitas para pemimpin. Dalam rumus matematikanya, bisa dikatakan bahwa kondisi sebuah bangsa akan berbanding lurus dengan kondisi para pemimpin bangsanya. Seperti diungkapkan sebelumnya, jika pemimpinnya baik, maka bangsanya akan berhasil. Sebaliknya, jika pemimpinnya buruk, maka bangsanya akan mengalami kemerosotan atau kejatuhan. Jelaslah bahwa kelangsungan atau kejatuhan sebuah bangsa, sangat dipengaruhi oleh kondisi lapisan elit (pemimpinnya).

Rumus tersebut dibuktikan oleh kondisi bangsa dan kondisi pemimpin kita saat ini. Bagaimana tidak, pemimpin yang diharapkan dapat mewujudkan aspirasi rakyat, malah sibuk memerkaya diri. Korupsi pejabat negara, mulai dari Bupati hingga anggota DPR, sudah menjadi rahasia umum di negara ini. Dengan dalih studi banding, pemimpin bangsa menghamburkan uang negara untuk berwisata ke luar negeri. Integritas pemimpin menjadi barang langka, terbukti dengan terungkapnya sejumlah kasus amoral pemimpin seperti perkelahian di ruang sidang, bolosnya anggota dewan dalam sidang paripurna yang mengakibatkan ditundanya sidang, dan skandal seks di antara anggota dewan. Hal ini semakin menimbulkan rasa antipati rakyat terhadap pemimpin.

Kondisi pemimpin bangsa tersebut merupakan sebuah kenyataan. Aneh bin ajaib; sebuah realita kepemimpinan yang terjadi di Indonesia. Pemimpin yang seharusnya mengabdi pada rakyat, malah mengabdikan dirinya pada uang dan kekuasaan. Pemimpin yang seharusnya melayani rakyat, malah melayani diri sendiri dengan menggunakan uang rakyat seenaknya. Pemimpin yang seharusnya berkarya dan mendatangkan kebaikan bagi rakyat, malah berdiam diri, sampai terkuaknya masalah-masalah baru, yang menuntut mereka–mau tidak mau–untuk angkat tangan. Pemimpin yang seharusnya menjadi suri teladan bagi rakyat, malah menjadi bahan tawa dan omongan skeptis rakyat. Sangat ironis!

Rekonstruksi Makna Pemimpin sebagai Solusi terhadap Buruknya Kondisi Pemimpin Bangsa. Kondisi pemimpin Indonesia yang demikian ruwet tersebut, perlu dibenahi segera, agar tidak menjadi benang kusut yang ‘tak terselesaikan. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan melihat pada inti masalah (core problem) yang menjadi penyebab buruknya kondisi pemimpin Indonesia; untuk kemudian ditelaah dan diberikan solusi.

Beberapa Penyebab Buruknya Pemimpin
Ada beberapa faktor penyebab buruknya kondisi pemimpin Indonesia saat ini, seperti:
1. Kurangnya rasa kepemilikan (self belonging) terhadap bangsa,
2. Rendahnya kualitas kepemimpinan,
3. Rendahnya komitmen dan tanggung jawab terhadap tugas,
4. Kkepekaan moral yang mulai berkurang atau bahkan menurun, dan sebagainya.

Akan tetapi, faktor-faktor tersebut hanya merupakan faktor skunder. Jika ditinjau lebih lanjut lagi, maka akar permasalahan dari buruknya kondisi pemimpin Indonesia saat ini adalah kurangnya (jika tidak mau disebut “tidak ada”) pemahaman atau penghayatan terhadap “makna” pemimpin itu sendiri. Ringkasnya, “Apakah pemimpin itu”?

Melihat kondisi pemimpin saat ini, mungkin saja pemimpin kita “tidak benar-benar menyadari” arti penting seorang pemimpin. Mungkin, pemimpin kita saat ini “tidak paham betul” mengenai hak dan kewajiban mereka sebagai pemimpin. Bisa saja pemimpin kita tidak “sungguh-sungguh menghayati” panggilan mulia mereka sebagai pengemban amanat rakyat. Sepertinya, pemaknaan tentang menjadi pemimpin, sudah mulai memudar di kalangan elit bangsa.

Jika pemimpin sungguh-sungguh menyadari arti penting seorang pemimpin, maka seharusnya perilaku amoral yang menimbulkan cibiran rakyat, tidak akan terjadi. Jika pemimpin betul-betul memahami hak dan kewajiban mereka, maka tindakan-tindakan memerkaya diri dan melalaikan tanggung jawab, tidak akan mungkin terjadi. Jika pemimpin menghayati dengan sungguh panggilan mulia mereka sebagai pengemban amanat rakyat, maka tindakan-tindakan yang menyudutkan posisi rakyat, tidak akan mungkin terjadi.

Untuk mengatasi buruknya kondisi pemimpin kita saat ini–dimana pemahaman dan penghayatan yang utuh akan makna pemimpin mulai pudar maka rekonstruksi terhadap makna pemimpin, menjadi penting dan mendesak. Sebab jika tidak, krisis kepemimpinan akan semakin menjadi-jadi, yang pada akhirnya, akan berdampak pula pada kondisi bangsa dan negara. Oleh karena itu, solusi yang dirasa tepat dalam membenahi buruknya kondisi pemimpin saat ini adalah dengan melakukan rekonstruksi (membangun kembali) terhadap makna pemimpin. Ringkasnya, “Apakah pemimpin itu?”

Rekonstruksi makna pemimpin merupakan suatu langkah going back to basic; dimana kita membenahi hal-hal yang paling mendasar dalam konsep kepemimpinan, yaitu “Apa itu Pemimpin?”. Rekonstruksi makna pemimpin perlu mendapat perhatian serius karena merupakan tahap awal dalam upaya membenahi kondisi pemimpin bangsa yang sedemikian ruwet. Rekonstruksi makna pemimpin menjadi solusi yang membawa angin segar dan kesejukan bagi peliknya permasalahan kondisi pemimpin bangsa saat ini. Jika pemahaman dan penghayatan seseorang terhadap makna pemimpin sudah benar, maka niscaya wujud kepemimpinannya pun akan benar. Bukankah apa yang ada “di dalam diri” seseorang akan terwujud dalam tampakan luarnya?

Sederhana saja; apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang, akan terwujud dalam perkataan dan perbuatannya. Jadi, jika pemahaman dan penghayatan seorang pemimpin terhadap makna pemimpin sudah beres (dalam arti: benar), maka tampakan luarnya pun akan beres. Misalnya, jika seorang pemimpin menyadari dengan sungguh-sungguh akan perannya sebagai abdi rakyat, maka ia akan melayani rakyat dan mengusahakan yang terbaik bagi rakyat. Hal ini berbeda dengan seorang pemimpin yang tidak menyadari dengan sungguh-sungguh akan perannya sebagai abdi rakyat; bukannya melayani rakyat, ia malah melayani diri sendiri dengan sibuk memerkaya diri sendiri.

Perubahan Pola Pikir
Bagaimana cara merekonstruksi makna pemimpin, sehingga kita dapat memiliki pemahaman dan penghayatan yang utuh akan makna pemimpin? Setidaknya, ada satu hal penting yang dapat dilakukan seorang pemimpin agar dapat memiliki pemaknaan yang utuh tentang “Apa itu Pemimpin?”. Yang harus dilakukan adalah dengan mengubah pola pikir. Pola pikir kita tentang “pemimpin”, harus berubah. Ini menjadi semacam refleksi kritis bagi kita. Pemimpin bukanlah penguasa bertangan besi yang menindas dan menyengsarakan rakyat. Pemimpin bukan sekadar pembuat peraturan. Menjadi pemimpin bukan sebagai ajang untuk memerkaya diri dan berfoya-foya. Pemikiran ini harus dirombak dan diubah. Perombakan pola pikir diperlukan karena ia akan menjadi dasar dari setiap perilaku kita.

Pola pikir yang benar, akan terwujud dalam 3 simpulan tentang “Apa itu Pemimpin?”
1. pemimpin itu adalah seorang “pelayan”.
Memimpin rakyat sama dengan melayani rakyat; artinya menjadikan rakyat sebagai “tuan”, bukannya diri sendiri. Pemimpin yang memiliki pola iker melayani, hanya akan berusaha untuk menyenangkan rakyat, dan bukannya menyenangkan diri sendiri. Dengan pola iker pemimpin sebagai pelayan, pemimpin akan menjadi “hamba” bagi rakyat yang dilayaninya. Jelas, karena pemimpin adalah orang yang dipercaya oleh rakyat untuk mengemban amanat rakyat.

2. pemimpin adalah orang yang berkarya.
Memimpin rakyat berarti berkarya atau bekerja; artinya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengusahakan yang terbaik bagi rakyat. Pemimpin yang berkarya, tidak akan pernah tinggal diam. Ia akan terus memacu diri untuk berkontribusi dan memberikan sumbangsih yang berharga bagi bangsa. Berkarya bagi bangsa, merupakan suatu harkat dan panggilan yang mulia.

3. pemimpin adalah teladan.
Menjadi pemimpin adalah menjadi teladan; artinya menunjukkan sikap hidup yang dapat ditiru dan dipercayai oleh rakyat. Ia memiliki keluhuran akhlak dan keagungan budi pekerti. Ia memiliki kesalehan sosial yang tidak tertandingi. Ia memiliki integritas hidup; apa yang dikatakannya itulah yang dilakukannya. Pemimpin yang demikian, akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan rakyat menjadi suatu dukungan tak ternilai bagi pemimpin. Jika pemimpin mendapat kepercayaan dari rakyat, maka akan tercipta kohesi nasional yang semakin kuat dan utuh.

Ketiga konsep tersebut–yaitu pemimpin sebagai pelayan, pemimpin yang berkarya, dan pemimpin sebagai teladan (panutan)–lahir dari pola pikir yang benar, utuh dan tidak dangkal tentang “Apa itu Pemimpin?”. Dengan memiliki pola pikir yang benar, maka pemimpin dapat menjalankan perannya dengan benar dan efektif, sehingga kemajuan bangsa, dapat dicapai.

Sekarang Juga!
Setiap orang–dengan profesi dan kapasitas masing-masing–penting dan berharga bagi pembangunan bangsa. Akan tetapi, pemimpin sebagai bagian kecil dari bangsa, memiliki porsi lebih dalam hal membangun bangsa. Sebagai pengemban amanah rakyat, tanggung jawabnya tidaklah mudah. Oleh karena itu, pemimpin perlu menjalankan peran dan fungsinya dengan seoptimal mungkin. Akan tetapi, bila diperhadapkan dengan realita kondisi pemimpin sekarang yang sangat memiriskan hati, timbul rasa pesimis, mungkinkah Indonesia bangkit?
Jawabannya tegas: Ya! Indonesia masih punya harapan untuk maju! Indonesia masih punya harapan untuk bangkit dan menjadi bangsa yang besar. Dan untuk mencapai harapan kebangkitan bangsa ini, harus dimulai dari diri pemimpin, sebab keberlangsungan dan kejatuhan sebuah bangsa, bergantung pada pemimpin. Jika bangsa ingin maju, maka pemimpinnya harus beres.

Menjadi pemimpin yang benar, tidaklah mudah, apalagi di zaman sekarang yang sudah tercemar oleh isme-isme tertentu yang sangat berbahaya, seperti individualisme, materialisme, hedonisme, dan sebagaihya. Cara paling ampuh agar seorang pemimpin bisa membawa kemajuan bagi bangsanya adalah dengan kembali pada hal yang mendasar, kembali melakukan refleksi kritis terhadap makna pemimpin, yaitu “Apa itu Pemimpin”.

Pemahaman yang benar akan makna pemimpin, akan menjadi dasar bagi kepemimpinan yang efektif. Waktu untuk membangun bangsa tidaklah banyak, kondisi bangsa sudah semakin rumit dan ruwet. Oleh karena itu, rekonstruksi makna pemimpin, menjadi penting dan mendesak. Rekonstruksi makna pemimpin: Sekarang Juga!

Sekarang adalah waktunya untuk membangun bangsa. Sekarang adalah waktunya untuk memandu ibu pertiwi. Ya, sekarang juga! Mulai dengan merekonstruksi hal yang paling mendasar namun sangat hakiki: “Apa itu Pemimpin?”
_____________________________________________________________________________
https://puansarisiregar.wordpress.com/2012/03/10/rekonstruksi-makna-pemimpin/