Cup Noodles : Bagaimana produk sejenis Pop Mie bisa menjadi bisnis yang besar di seluruh dunia

By intermedia 11 Min Read
11 Min Read

Cup Noodles : Bagaimana produk sejenis Pop Mie bisa menjadi bisnis yang besar di seluruh dunia

Kemasan asli Jepang lebih menekankan karakter bahasa Inggris daripada karakter Jepang.
Wikipedia Commons , CC BY-SA

Alisa Freedman, University of Oregon

Lihatlah wadah Pop Mie di toko serba ada, Anda mungkin akan membayangkan kamar kos dan asupan gizi yang rendah.

Tapi akan ada masa ketika Anda memakan makanan dari produk dengan kemasan ikonik yang memancarkan budaya kosmopolitan, ketika makanan siap saji menjadi pilihan utama yang mewakili banyaknya kesempatan – salah satunya adalah bagaimana lahirnya produk makanan Jepang dengan sentuhan Amerika dan menjadi sukses.

Cup Noodles – sejenis produk Pop Mie, pertama kali dipasarkan di Jepang 50 tahun lalu, pada 18 September 1971, dengan nama Inggris yang huruf “s” nya dihilangkan karena kesalahan terjemahan – adalah ramen instan siap saji yang dimakan dengan garpu langsung dari kemasannya.

Saya meneliti bagaimana Amerika dan Jepang memasarkan produk ini, menciptakan praktik baru dalam prosesnya. Bagi saya, Cup Noodles perwujudan kisah lintas budaya, dan perjalanan antarbenua yang mengungkapkan bagaimana Jepang memandang Amerika sejak Perang Dunia II.

Kilasan inspirasi

Ini adalah kisah yang diceritakan secara luas di Jepang: Cup Noodles dibuat oleh orang yang sama yang menemukan ramen instan, Ando Momofuku, yang pada tahun 1948 juga mendirikan Nissin Foods.

Ando lahir di Taiwan yang kala itu sedang diduduki Jepang, dan pindah ke Osaka, Jepang pada tahun 1933. Di Jepang yang sedang dilanda perang, Ando melihat orang-orang berbaris untuk membeli semangkuk mie murah dari kios di pasar gelap. Mie dibuat dari tepung terigu yang disumbangkan oleh Amerika Serikat untuk membuat roti, makanan yang lebih mengenyangkan tetapi kurang umum bagi masyarakat Jepang.

Ando ingin membuat mie yang bisa dimakan orang dengan mudah di rumah, jadi dia membangun gudang laboratorium di halaman belakang rumahnya.

Setelah beberapa kali gagal, inspirasi muncul pada tahun 1958. Saat mengamati istrinya, Masako, menggoreng tempura, dia memperhatikan bahwa minyak menghilangkan kelembapan.

Dia kemudian menyadari bahwa mie goreng dan mie kering bisa dilembabkan kembali saat direbus. Bubuk bumbu dan topping kering dapat ditambahkan, membuat kombinasi rasa tak terkira menjadi mungkin diciptakan. Ando memilih ayam untuk rasa pertama karena sup ayam tampak kaya, bergizi, dan sangat Amerika.

Karena “Chikin Ramen” milik Ando harganya enam kali lipat harga semangkuk mie segar, dia kesulitan menarik investor. Solusinya adalah membawa produknya langsung ke masyarakat melalui acara tasting (mencicipi makanan). Chiken Ramen kemudian menjadi populer dan termasuk sebagai salah satu makanan paling umum di Jepang di masa pascaperang.

BACA JUGA:   Tips Sukses Berbisnis Rumahan Yang Menggiurkan.

Pada pertengahan 1960-an, penjualan Chikin Ramen di Jepang – dan kreasi produk lainnya seperti “Spagheny,” spageti instan yang dibuat pada tahun 1964 – sebagian menurun karena kejenuhan konsumen. Ando kemudian mencari pasar baru untuk ramen instan: Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat pada waktu itu, makanan Jepang seperti sukiyaki – daging sapi dan sayuran yang dimasak dalam panci panas – sedang digemari karena tampak eksotis namun cocok dengan selera orang Amerika pada umumnya. Ando percaya ramen instan bisa menciptakan hal yang sama.

Jadi pada tahun 1966 ia melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mempromosikan Chikin Ramen. Dia terkejut melihat orang Amerika memecah bungkus mie kering menjadi beberapa bagian, memasukkannya ke dalam wadah mangkuk dan menuangkan air mendidih di atasnya, dari pada menyiapkan Chikin Ramen dalam panci dan kemudian menyajikannya dalam mangkuk.

Ketika Ando kembali ke Jepang, ia mulai membuat produk baru yang terinspirasi dari teknik memasak di Amerika untuk dijual di Jepang.

Perjalanan menjadi populer

Setelah melakukan banyak uji coba, tim Nissin merancang cara untuk membungkus gelas busa plastik di sekitar mie kering yang ditempatkan di tengah agar mudah mengembang. Bumbu yang berbeda diletakkan di atas mie untuk menjadikan makanan itu lebih enak dan membuatnya terlihat seperti makanan yang lebih lengkap. Wadah mangkuk itu memiliki tutup yang terinspirasi oleh wadah kacang macadamia, yang Ando pernah makan di perjalanan ke Amerika.

Pria berkacamata dan berjas berpose dengan kemasan makanan.
Momofuku Ando.
Kazuhiro Nogi/AFP via Getty Images

Otaka Takeshi, yang menciptakan logo untuk pameran dunia Osaka 1970, mendesain wadah mangkuk agar terlihat kosmopolitan dan canggih, dengan kata-kata berbahasa Inggris besar dalam font psychedelic merah di atas kata-kata Jepang kecil dan dengan pita emas yang terinspirasi dari piring makan mahal. Cup Noodle mengandung jumlah ramen yang hampir sama dengan kemasan mie kering tetapi harganya empat kali lipat karena proses pembuatannya ‘lebih mahal’. Harga tersebut membuat Cup Noodle terkesan mewah.

Namun di Jepang, makan sambil jalan dianggap tidak sopan. Dengan berjalan, mereka juga akan kesulitan untuk makan dengan sumpit. Jadi Nissin memutuskan untuk mengubah cara orang makan. Setiap Cup Noodle dilengkapi dengan garpu plastik kecil.

BACA JUGA:   Cara Mudah Membuat Website/blog Gratis di Wix

Nissin mengadakan acara mencicip makanan di Jepang untuk mempromosikan Cup Noodle dan mengajari orang cara memakannya. Acara tersukses diadakan pada 21 November 1971, di distrik perbelanjaan Ginza Tokyo. Acara ini menyasar para pemuda yang berjalan-jalan di “Pedestrian Paradise”, surganya para pejalan kaki, jalan paling modis di Jepang.

Lebih dari 20.000 bungkus Cup Noodle terjual dalam kurun waktu empat jam.

Nissin juga menawarkan produk tersebut kepada pekerja yang sedang bepergian, seperti Pasukan Bela Diri Jepang. Cup Noodle mendadak promosi gratis di media ketika liputan krisis penyanderaan pada Insiden Asama-Sansō menunjukkan petugas polisi makan Cup Noodle agar suhu tubuhnya tetap hangat.

Men in uniform linger and eat.
Liputan media tentang Insiden Asama-Sansō menggambarkan petugas polisi makan dari wadah Cup Noodle.
Shotaaa/Wikimedia Commons, CC BY-SA

Lebih dari sekadar makanan modis

Cup Noodle melambangkan keyakinan dominan di Jepang pascaperang bahwa kehidupan yang lebih baik dapat dicapai melalui kemudahan dan kenyamanan, baik melalui peralatan seperti lemari es dan televisi atau makanan yang dapat dibawa pulang.

Toko serba ada pertama di Jepang dibuka pada tahun 1969 dan menjadi pemasar utama Cup Noodle. Khususnya, Nissin mengadakan acara Ginza Cup Noodles di depan McDonald’s pertama di Jepang, yang telah dibuka di Pedestrian Paradise empat bulan sebelumnya, pada 20 Juli 1971. Cup Noodle adalah salah satu makanan pertama yang dijual di mesin penjual otomatis di Jepang, dengan mesin penjual otomatis Cup Noodle pertama dipasang di dekat kantor surat kabar keuangan Nihon Keizai cabang distrik Tokyo pada November 1971.

Seiring berjalannya waktu, proses manufaktur membaik dan harga menurun, sehingga ramen instan menjadi makanan pilihan bagi populasi yang tak mampu secara ekonomi.

People riding small train through snow tunnel.
Orang-orang mengendarai lokomotif uap mini melalui terowongan salju Cup Noodle di Hokkaido, Jepang, pada tahun 2020.
Charly Triballeau/AFP via Getty Images

Cup Noodle telah menerapkan beberapa strategi pemasaran Jepang yang sukses. Mereka termasuk konsisten dalam merilis rasa-rasa baru – mulai dari makanan dengan cita rasa Jepang seperti rasa teriyaki ayam hingga hidangan eksotis seperti rasa kari – bersama dengan rasa-rasa edisi terbatas yang menarik perhatian seperti “Cheechili Curmato” (kari cabai, tomat, dan keju Eropa, adakah yang ingin memesan?).

Pemasar memanfaatkan nostalgia dan kolaborasi penggemar untuk membantu menjual produk. Nissin juga mengadopsi praktik periklanan Jepang yang populer dengan mempekerjakan selebriti Amerika untuk mempromosikan produk mereka, dengan James Brown menyanyikan Cup Noodle rasa miso dengan nada “Get On Up” dalam iklan televisi tahun 1992 yang mengesankan.

BACA JUGA:   Cara Membuat Website untuk Pemula Tanpa Coding
James Brown menyajikan Cup Noodle rasa miso.

Cup Noodles menyembunyikan identitas Jepangnya

Namun, tak satu pun dari strategi ini digunakan untuk menjual Cup Noodle di Amerika Serikat.

Produk ini mengambil jalan yang berbeda di Amerika Serikat dengan menyedikitkan penampilan ‘negara asing’nya dan memilih untuk tampak sebagai makanan Amerika biasa.

Cup Noodle pertama kali dijual di Amerika Serikat pada November 1973 ketika produk Jepang seperti mobil Toyota dirancang agar berbeda dari yang mobil-mobil dibuat di Amerika namun mudah dipahami, diucapkan, dan diterima oleh orang Amerika.

Setelah ter-amerikanisasi sebagai “Cup O’Noodles” – dan kemudian berganti nama menjadi “Cup Noodles,” dengan huruf “s,” pada tahun 1993 – mie ini memiliki mie yang lebih pendek yang dapat dimakan dengan sendok dan rasa yang lebih sedikit daripada yang ditawarkan di Jepang.

Pabrik luar negeri pertama Nissin dibuka pada tahun 1973 di Lancaster, Pennsylvania. Sekarang, pada tahun 2021, Cup Noodles dibuat di 80 negara dan wilayah, masing-masing dengan varian lokalnya sendiri. Misalnya, Anda bisa makan Cup Noodles masala di India dan Cup Noodles jamur di Jerman. Pada Mei 2021, 50 miliar unit Cup Noodles Nissin telah terjual di seluruh dunia.

Di Jepang, Cup Noodles sekarang mewakili campuran nilai trendi dan nilai nostalgia. Pengunjung Museum Cup Noodles Jepang dapat membuat Cup Noodles pribadi mereka sendiri. Karakter populer seperti Yoda dan Hello Kitty telah menjajakan Cup Noodles di Jepang.

Di Amerika Serikat, iklan Cup Noodles setinggi 60 kaki digantung di Times Square New York dari tahun 1996 hingga 2006 – sebuah simbol yang menunjukkan jangkauan global Nissin. Ini mewakili gagasan – yang menjadi umum di Jepang – bahwa menjadi besar di Amerika adalah kunci kesuksesan bisnis.

Namun, di Amerika, Cup Noodles telah berhasil sukses dengan cara menyembunyikan identitas Jepangnya.

[Get the best of The Conversation, every weekend. Sign up for our weekly newsletter.]


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.The Conversation

Alisa Freedman, Professor of Japanese Literature, Cultural Studies and Gender, University of Oregon

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article