Dilema pangan ramah iklim yang bernutrisi dan terjangkau di Indonesia. Bagaimana cara mengatasinya?

By intermedia 6 Min Read
6 Min Read

Fanny Octavianus/Antara

Robby Irfany Maqoma, The Conversation

Mengatasi persoalan sistem pangan di Indonesia bukan perkara mudah. Analis Kebijakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jarot Indrarto, mengemukakan upaya ini masih menemui sejumlah tantangan.

Pertama adalah persoalan keragaman pangan dan pemenuhan nutrisi yang seimbang. Misalnya, skor pola pangan harapan (PPH) Indonesia masih belum ideal, bahkan terus menurun sejak 2018. Pola pangan harapan adalah cerminan keragaman dan keseimbangan konsumsi pangan pada tingkat keluarga yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Jarot mengatakan, skor PPH yang ideal juga terkait dengan kemampuan ekonomi. “Pandemi Covid-19 juga membuat skor menurun,” ujar Jarot dalam diskusi secara virtual, pekan lalu.

Masalah lainnya adalah ketahanan sumber daya alam serta kualitas dan keamanan pangan. Dalam indeks ketahanan dan keamanan pangan global oleh The Economist Intelligence Unit, peringkat Indonesia masih sangat rendah: sekitar 33,0 (dari 100) untuk skor ketahanan sumber daya alam dan 4,5 untuk skor kualitas (juga terkait keragaman jenis pangan) dan keamanannya.

Di sisi lain, proses produksi pangan di Indonesia juga belum ramah iklim. Jarot menyitir hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) BPS yang menyatakan sekitar 89% lahan pertanian di tiga provinsi lumbung padi nasional: Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat; belum ramah iklim. Penggunaan pupuk di 50% lahan pertanian belum berisiko merusak tanah, tanaman, maupun air.

Hasil SITASI BPS di tiga provinsi lumbung padi nasional: Jawa Barat, Jawa Timur, NTB.
BPS, diolah Bappenas

Penelitian terbaru dari Tufts University, Amerika Serikat, bersama Institut Pertanian Bogor, dan sejumlah universitas lainnya mempertegas dilema ini. Studi yang terbit di The American Journal of Clinical Nutrition menyatakan pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih bertumpu pada jenis beras-berasan dengan asupan protein hewani yang rendah.

BACA JUGA:   Penghapusan premium dan pertalite tak cukup menekan emisi BBM, standar kuno bensin Indonesia harus dirombak

Sementara, peningkatan protein akan membuat tingkat keterjangkauan masyarakat terhadap pangan juga semakin rendah. Jika sistem pangan diarahkan untuk peningkatan produksi sumber protein, maka emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmonsfer berisiko semakin tinggi, bisa melampaui 1.000 kg per kapita per tahun.

Angka tersebut dua kali lipat dari standar asupan pangan bernutrisi yang dirilis organisasi nirlaba, EAT, bersama para ilmuwan global, yakni sebesar 500 kg per kapita per tahun.

Lantas, apa solusinya?

Studi merekomendasikan beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah untuk meningkatkan asupan nutrisi dalam pangan yang terjangkau dan minim emisi.

Pertama, pemerintah dapat mendorong pengurangan konsumsi beras dan makanan yang tak sehat. Harapannya, keluarga Indonesia dapat mengalokasikan anggaran pangannya untuk sumber nutrisi selain karbohidrat.

Kedua, program peningkatan produktivitas dan perdagangan pangan harus mendukung program pangan yang bernutrisi dan ramah iklim. Misalnya adalah melalui pengembangan sektor perikanan. Standar lingkungan bagi fasilitas peternakan, pengangkutan hewan ternak, hingga pemotongan juga harus diperketat.

Upaya ketiga adalah memberikan subsidi ataupun insentif untuk menurunkan harga pangan bernutrisi. Cara lainnya adalah meningkatkan harga pangan ataupun bahan pangan yang mengandung gula, lemak, dan garam yang tinggi melalui pajak, ataupun pungutan lainnya.

Kembali ke kearifan lokal

Mulia Nurhasan, Food and Nutrition Scientist dari Centre for International Forestry Research (CIFOR), mengatakan Indonesia memiliki keragaman hayati yang tinggi, termasuk sumber pangannya. Berdasarkan penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2007, ada sekurang-kurangnya 100 jenis tumbuhan karbohidrat, 100 jenis polong, 450 jenis buah, 250 jenis sayuran dan jamur yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia.

“Sayang, konsumsi makanan di masyarakat saat ini malah makin berkurang keragamannya,” ujar Mulia dalam keterangannya.

BACA JUGA:   Produksi beras juga bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, syaratnya riset iklim harus diperbanyak

Mulia juga mengingatkan bahwa ketahanan pangan berpotensi lebih terjaga jika masyarakat setempat mengandalkan tanaman pangan tradisionalnya masing-masing. Contohnya, masyarakat desa di Buton, Sulawesi Tenggara, yang berhasil menjaga singkong sebagai tanaman pokok hasil penanaman mandiri.

Alih-alih menggenjot program pangan strategis yang terpusat, dia menyarankan pemerintah semestinya mendukung relokalisasi sistem pangan di Indonesia. Maksudnya, masyarakat setempat memiliki kuasa untuk mengembangkan sistem pangan sendiri sesuai karakteristik kaum masing-masing.

Relokalisasi diharapkan menjadi pemicu menjamurnya pertanian berbasis ekosistem lokal sehingga rantai pasokan makanan lebih pendek dan efisien. Jika sistem ini diterapkan, ketergantungan masyarakat terhadap industri makanan ultraproses bisa berkurang sehingga pola konsumsi makanan bisa lebih beragam dan sehat.

Senada dengan Mulia, Guru Besar IPB University bidang pangan dan Gizi, Clara Meliyanti Koesharto, menyatakan pangan lokal mesti menjadi solusi makanan yang bergizi untuk mengurangi konsumsi pangan instan. Dia mengingatkan bahwa konsumsi pangan instan yang cenderung naik bakal meningkatkan risiko penyakit seperti hipertensi, diabetes, dan obesitas.

Salah satu cara menggairahkan kembali minat warga adalah melalui riset dan pengembangan jenis pangan lokal.

“Jumlah koleksi sumberdaya genetik badan penelitian dan pengembangan pertanian mencatat, tanaman pangan yang tercatat saat ini adalah sebanyak 5.529, sebanyak 584 buah, bahkan terdapat 4.438 sayur-sayuran. Potensi ini bisa dimaksimalkan lagi dengan riset dan implementasi dalam bentuk kebijakan dan pengembangan produk lokal,” kata dia.

Melalui penelitian, pemerintah ataupun pemerintah daerah dapat menyasar pengembangan jenis pangan tertentu yang akrab dikonsumsi masyarakat dan sesuai karakter ekosistem lokal saat ini.The Conversation

BACA JUGA:   Bagaimana mencegah gelombang kepunahan primata Indonesia pada 2050 mendatang?

Robby Irfany Maqoma, Editor Lingkungan, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article