Kaitan antara pahlawan super fiksi dan ketaatan, lalu mengapa kita percaya pada Tuhan

By intermedia 7 Min Read
7 Min Read

Dunia fiksi pahlawan super bisa mengajarkan kita tentang apa yang memotivasi kita untuk percaya akan Tuhan.
from www.shutterstock.com, CC BY-ND

Thomas Swan, University of Otago dan Jamin Halberstadt, University of Otago

Susah menghindari banyaknya film pahlawan super dan penjahat super yang beredar. Ada orang yang mencintainya. Ada pula yang menghindarinya. Tapi para peneliti psikologi melihat sebuah fenomena budaya yang layak untuk dikaji.

Tokoh-tokoh fiksi dengan kekuatan supernatural biasanya terinspirasi oleh dewa-dewi dalam berbagai mitologi, mereka melakukan pertarungan klasik antara kebaikan dan kejahatan dengan kemampuan yang berada di luar nalar kita.

Dalam penelitian kami yang baru saja diterbitkan, kami meminta 300 peserta untuk menjelaskan ciri-ciri makhluk supernatural fiksi dan kami membandingkan datanya dengan ciri-ciri makhluk-makhluk spiritual yang orang-orang sembah. Kami menemukan perbedaan yang mencolok yang menjelaskan mengapa ada tokoh-tokoh dalam agama yang disembah dan ada yang tidak.

Apa yang membuat tokoh-tokoh dalam agama dipuja

Pertanyaan apa yang membuat tokoh-tokoh dalam agama spesial ternyata lebih membingungkan dari yang awalnya kami kira.

Awalnya, dapat dipahami bahwa roh leluhur yang, misalnya, membaca pikiran dan berjalan menembus dinding dijadikan objek pemujaan. Kita menganggap pikiran bersifat privat, makhluk hidup akan mati, dan benda padat tidak dapat ditembus. Entitas yang tidak memenuhi kriteria tersebut – atau yang disebut oleh para peneliti sebagai “[teori folk](https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1364661303003140]” – dianggap luar biasa dan mengesankan.

Masalahnya, ada banyak entitas lain yang tidak sejalan dengan teori folk. Beberapa pahlawan super dapat membaca pikiran dan berjalan menembus dinding, tapi mereka tidak dipuja. Ada pula entitas dengan kekuatan manusia super, seperti Bigfoot, vampir atau manusia serigala, yang dipercaya beberapa kalangan, tapi tidak dipuja.

BACA JUGA:   Hampir 90% jurnalis perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan, mengapa begitu masif?

Mengapa mereka tidak dipuja, layaknya Yesus, Allah, dan Zeus?

Penelitian kami membawa kami kepada gagasan para filsuf dan psikolog yang bahkan sudah berabad-abad lamanya, dari David Hume hingga Sigmund Freud.

Kita percaya pada suatu Tuhan karena konsep itu membuat kita nyaman.

Ketika kami menanyakan para peserta tentang karakteristik yang dimiliki tokoh-tokoh agama supernatural, kami menemukan bahwa, secara umum, mereka menempatkan mereka sebagai makhluk yang lebih dermawan daripada tokoh-tokoh fiksi yang tidak dipuja. Dengan kata lain, tokoh-tokoh dalam agama dianggap lebih baik dalam memperbaiki kehidupan orang-orang secara signifikan daripada tokoh-tokoh fiksi dengan kemampuan manusia super.

Tuhan dianggap sebagai entitas yang dapat memperbaiki kehidupan kita.
Supplied, CC BY-ND

Teori kenyamanan

Tokoh-tokoh dalam agama kerap melanggar teori-teori folk, terutama terkait psikologi – memiliki kemampuan seperti kemahatahuan, mengendalikan pikiran, telepati, dan prekognisi – daripada melanggar teori-teori folk tentang biologi (seperti regenerasi) atau fisika (kemampuan terbang).

Dalam penelitian kami saat ini, kami menemukan orang-orang yang mempercayai makhluk dengan kemampuan psikologis sedemikian rupa jauh lebih bersedia membantu kami. Hal ini mungkin disebabkan karena seiring berjalannya evolusi ancaman terhadap kita saat ini lebih bersifat sosial. Mendeteksi muslihat, menjaga reputasi, dan menghindari pengucilan sosial menjadi masalah yang lebih penting daripada menghindari makhluk pemangsa dan mencari tempat berteduh. Tokoh-tokoh dalam agama dengan kemampuan mengatasi ancaman-ancaman sosial tersebut dengan demikian dianggap lebih memikat.

Ciri lainnya merujuk pada teori kenyamanan secara lebih halus. Kami menemukan bahwa kemampuan yang dimiliki tokoh-tokoh dalam agama bersifat lebih ambigu daripada kemampuan yang dimiliki tokoh-tokoh fiksi. Misalnya, kemahakuasaan dan manipulasi cuaca jelas-jelas melanggar nalar kita, tapi yang mana, dan berapa banyak? Apakah Tuhan membuat badai dengan pikirannya, atau menarik badai tersebut secara fisik pada suatu tempat yang ditentukan? Ambiguitas ini biasanya dijelaskan dengan ucapan “Tuhan bekerja secara misterius”.

BACA JUGA:   Album ‘30’ Adele: mengapa lagu-lagu sedih membuat kita merasa lebih baik?

Penelitian menunjukkan bahwa kita ingin percaya pada sesuatu, misalnya dalam memiliki sifat positif, jauh lebih baik jika sifat itu bersifat ambigu (seperti canggih) daripada spesifik (seperti tepat waktu). Hal ini memberikan kami kebebasan dalam menafsirkan berbagai bukti pendukung.

Argumentasi yang sama dapat diterapkan pada Tuhan yang ingin kita percayakan. Ada yang lebih memilih Tuhan yang dapat menarik badai. Ada yang lebih memilih Tuhan dengan kemampuan psikokinesis. Jika kedua penafsiran dibenarkan, maka Tuhan dapat dibuat sesuai dengan apa yang masing-masing orang anggap masuk akal. Sifat-sifat ambigu tersebut membuat kita merasa lebih mudah memercayai Tuhan yang membuat kita nyaman.

Tuhan bukanlah pahlawan ataupun penjahat

Ciri terakhir tokoh-tokoh dalam agama yang kami temukan ialah mereka tidak dapat dikategorikan sebagai pahlawan super atau penjahat super seperti tokoh-tokoh fiksi. Mereka lebih dermawan, tapi juga lebih ambivalen daripada tokoh-tokoh fiksi.

Mereka dapat memberi, tapi juga mengancam dan menghukum. Meski kombinasi ini yang membuat mereka menekankan aturan agama dan moral, kami menemukan peran ambivalensi cukup krusial sehingga muncul ritual keagamaan dan doa, yang kemudian menguatkan kepercayaan tersebut.

Tidak ada gunanya mengharapkan sosok Tuhan yang murni mulia atau murni jahat. Hanya Tuhan yang ambivalen yang dapat membuat orang-orang mempercayainya atau melakukan ritual secara berkala.

Hal ini dapat dilihat pula pada agama-agama politeis yang biasanya memiliki dewa-dewi positif dan negatif. Yang negatif biasanya tidak memberikan kenyamanan yang kita dambakan.

Secara singkat, tokoh-tokoh dalam agama lebih dermawan, ambivalen, ambigu, dan mengejutkan secara psikologis daripada tokoh-tokoh fiksi dan, yang perlu diperhatikan adalah inilah ciri-ciri yang membuat orang percaya.

Jadi jika Anda merasa bergidik akan gagasan film Marvel terbaru, dunia fiksi sedikit banyak telah mengajarkan apa yang membuat Tuhan spesial dan apa yang membuat beberapa orang mempercayai konsep tersebut.

BACA JUGA:   Demi Indonesia yang damai, kata kafir memang sebaiknya dihapus

Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.The Conversation

Thomas Swan, Assistant Research Fellow, University of Otago dan Jamin Halberstadt, Professor, Department of Psychology, University of Otago

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article