Lima buku ini bisa mengubah caramu memandang lingkungan dan perubahan iklim

By intermedia 8 Min Read
8 Min Read

Pexels

Ti-han Chang, University of Central Lancashire dan Henry Dicks, IAE Lyon School of Management – Université Jean Moulin Lyon 3

Berbagai pesan berisi peringatan menakutkan soal darurat lingkungan dan iklim terus menerus membombardir kita. Peringatan-peringatan tersebut mendorong kita untuk bertindak saat ini juga. Jika tidak, maka bencana global yang tak pernah terkira bakal terjadi.

Sejumlah solusi yang diusulkan untuk memperlambat perubahan iklim memang penting. Misalnya penggunaan panel surya dan pemompa panas, ataupun pengurangan konsumsi daging. Namun, kebanyakan solusi-solusi ini tidak imajinatif dan tidak menginspirasi, serta tidak terhubung dengan sistem kepercayaan yang ada di masyarakat sehingga kurang berhasil menciptakan makna di kehidupan sehari-hari.

Lima buku berikut menawarkan perspektif alternatif. Berbeda dengan ide-ide sederhana bahwa semua yang perlu kita lakukan adalah menerapkan serangkaian perubahan teknologi dan gaya hidup, buku-buku ini menawarkan cara baru untuk memahami alam.

Gaia (James Lovelock: 1979)


Author provided

Dalam buku ini, James Lovelock menawarkan sebuah gambaran baru. Bumi bukan hanya sebuah planet yang memuat kehidupan yang berevolusi, tapi juga sebuah sistem pengaturan mandiri. Sistem ini mampu memperbaiki berbagai perubahan yang membuat Bumi tidak dapat dihuni, seperti peningkatan atau penurunan suhu global atau kadar salinitas laut.

Sebagai contoh, Lovelock menunjukkan bagaimana lingkungan telah berkontribusi dalam penurunan tingkat karbon dioksida di atmosfer demi mengimbangi pemanasan yang terus-menerus oleh matahari dan berhasil menjaga tingkat suhu global yang layak huni.

Keutamaan buku Gaia tidak hanya terletak pada klaim ilmiahnya yang berani. Buku ini membuka kemungkinan untuk menyatukan sains dan spiritualitas. Keduanya menjadi hal yang benar dan bermakna. Apa arti menjadi bagian dari Gaia (atau bumi, dalam mitologi Yunani) bagi kita?

BACA JUGA:   Riset: usia 16-24 tahun adalah periode kritis untuk kesehatan mental remaja dan anak muda Indonesia

Should Trees Have Standing? (Christopher D. Stone: 1972)


Author provided

Aturan tidak bisa dibentuk sebelum manusia menyadari masalah yang timbul akibat ketiadaan aturan tersebut, menurut Christopher Stone.

Sama halnya ketika dahulu kita tak pernah membayangkan memberikan korporasi hak yang sama dengan manusia, begitu pula dengan makhluk hidup dan korporasi.

Alam tidak memiliki hak. Namun orang-orang yang memiliki dan menggunakannya yang memiliki hak.

Stone hendak melawan itu. Stone berpendapat bahwa entitas alam tertentu – pohon, hutan, sungai – harus diperlakukan sebagai manusia dan diberikan “hak”.

Gagasan radikal ini mulai diterapkan di berbagai tempat. Pada 2008 dan 2009, Ekuador dan Bolivia menjadi negara pertama di dunia yang mengakui alam sebagai entitas legal berkedudukan hukum dalam konstitusi mereka.

Pada 2017, Selandia Baru mengakui Sungai Whanganui sebagai entitas legal dengan kedudukan hukum.

Dalam buku versi cetakan 2010, Stone bertanya, apakah iklim juga harus diberikan kedudukan hukum?

Stone menganggal hal ini kontroversial, tetapi bukan tidak mungkin. Upaya tersebut akan membutuhkan sistem hukum yang melampaui struktur negara saat ini.

Biomimicry (Janine Benyus: 1997)


Author provided

Tidak banyak orang akan menyangkal peran teknologi dalam mencapai kehidupan yang berkelanjutan. Namun, sebagian besar inovasi teknologi masih berfokus pada keperluan individu – seperti kendaraan listrik atau kemasan yang dapat terurai –– tanpa melihat peran teknologi secara keseluruhan.

Menurut Janine Benyus, aksi mencapai keberlanjutan membutuhkan pendekatan yang sama sekali berbeda: inovasi mesti terinspirasi oleh alam, atau “biomimikri”.

Buku ini mengeksplorasi praktik meniru alam untuk memecahkan tantangan desain teknologi versi manusia. Benyus menampilkan sejumlah kasus yang menunjukkan bagaimana biomimikri dapat diterapkan pada hampir setiap bidang inovasi. Misalnya teknologi pembangkitan energi surya yang mengadopsi proses fotosintesis alami, ataupun pertanian tanaman sereal di suatu padang rumput di Kansas, Amerika Serikat.

BACA JUGA:   Bagaimana membantu anak dengan pelajaran matematika yang tidak Anda pahami

Lebih dari itu, makna sebenarnya buku ini adalah untuk mengajak kita memandang alam bukan hanya sebagai sesuatu yang kita pelajari. Tapi juga, sebagai bagian dari alam, kita mesti belajar dari alam. Karena itu, kita harus berhenti menganggap diri manusia sebagai satu-satunya pemilik kecerdasan dan pengetahuan dan mulai mengakui kejeniusan alam.

Braiding Sweetgrass (Robin Wall Kimmerer: 2013)


Author provided

Seperti Benyus, Robin Wall Kimmer berpikir bahwa alam bisa mengajarkan kita banyak hal. Tapi tidak hanya berfokus pada inovasi teknologi, Kimmerer tertarik pada pelajaran yang lebih luas.

Tema keseluruhan dari buku ini adalah bagaimana mempererat hubungan kearifan lokal dan pengetahuan ilmiah. Buku ini menjadi usaha dari Kimmerer, pakar biologi yang juga warga bangsa Potawatomi – kaum asli yang mendiami bagian timur laut Wisconsin, AS.

Kimmerer menyitir contoh paling cemerlang: rumput manis, sejenis tanaman obat dan bahan baku keranjang tradisional kaum Potawatomi. Di saat kolega satu disiplinnya menganggap bahwa memanen rumput manis hanya akan merusak tanaman tersebut, seorang mahasiswa biologi Kimmerer justru merancang eksperimen guna membuktikan bahwa panen rumput manis berguna untuk merangsang pertumbuhannya. Kegunaan tersebut sudah lama diketahui kaum Potawatomi.

Tanaman ini mengajarkan satu hal yang agung: bahwa manusia tidak berada di luar alam, tetapi bagian dari alam. Karena itu, penggunaan pendekatan yang tepat akan memungkinkan spesies lain untuk tumbuh dan berkembang bersama manusia.

The Climate of History in a Planetary Age (Dipesh Chakrabarty: 2021)


Author provided

Dipesh Chakrabarty membahas makna perubahan iklim melalui lensa sejarah dan mengusulkan perubahan mendasar dari pemikiran tentang perubahan iklim “global” ke “planet”.

Chakrabarty berpendapat, dunia tengah sibuk memecahkan persoalan global. Namun, warga dunia lupa mempertanyakan: apa arti “global” bagi kita hari ini?

BACA JUGA:   Kecerdasan buatan membawa banyak manfaat, potensi dampak buruk perlu ditangani

“Global”, tulis dia, pada dasarnya adalah ide yang berpusat pada manusia. Secara intrinsik, istilah tersebut terkait dengan globalisasi dan modernisasi pascaperang.

Sebaliknya, istilah “planet” justru mampu mengurai gagasan yang berpusat pada manusia. Kata tersebut memungkinkan kita memperhitungkan perspektif dan kepentingan non-manusia. Yang paling penting, perubahan istilah dapat meningkatkan kemungkinan umat manusia untuk menemukan nilai-nilai universal baru.

Chakrabarty juga menekankan bahwa percepatan pemanasan global terkait erat dengan gerakan anti-kolonialisme pada pertengahan abad ke-20.

Misalnya kebijakan Lompatan Jauh ke Depan oleh pemimpin Cina pascaperang, Mao Ze Dong. Kebijakan itu mencakup serangkaian program ekonomi dan sosial untuk mempercepat kemajuan China dengan dunia Barat melalui industrialisasi intensif dan kemajuan teknologi.

Berkaca dari gerakan-gerakan tersebut, kata Chakrabarty, seluruh negara harus menyetop obsesi terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Hal yang meski dipikirkan adalah bagaimana menghadapi tantangan untuk memastikan keberlanjutan planet ini.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.The Conversation

Ti-han Chang, Lecturer in Asia-Pacific Studies, University of Central Lancashire dan Henry Dicks, Doctor of Philosophy, IAE Lyon School of Management – Université Jean Moulin Lyon 3

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article