Ketika saya bertanya kepada para eksekutif senior tentang cara mereka menggunakan e-mail, komentar mereka ditandai oleh keraguan yang penuh rasa penasaran dan tak terduga–bahkan dengan rasa curiga.
Dalam jumlah yang mencengangkan–antara lain Leonard A. Lauder, pemimpin Estée Lauder; Teodoro Benavides, manajer kota Dallas; dan Akira Chiba, Presiden Pokémon USA–mengemukakan keprihatinan bahwa, jika digunakan secara tidak benar, e-mail sebenarnya dapat merusak dan bukannya menyuburkan komunikasi.
William G. Dugan, penyunting di Briefings Communications, penyunting buletin di Alexandria, Vriginia, menyimpulkannya dengan ringkas: “E-mail adalah sebuah perkakas yang tak tergantikan. Tapi, membiarkannya mengganggu interaksi kita dengan orang lain adalah sikap yang sangat merusak. E-mail cenderung merupakan efek yang memisahkan, bukan mempersatukan. Kita, sebagai pemimpin, bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan agar tim bisa bekerja sama.”
Namun, kekhawatiran ini, hanyalah salah satu saja unsur dari paradoks e-mail. Tidak diragukan lagi bahwa pekerjaan manajerial dalam dasawarsa terakhir telah mengalami perubahan besar-besaran dengan komunikasi e-mail yang sangat cepat–sekarang bahkan menjadi semakin cepat dengan semakin luasnya penggunaan pengiriman pesan seketika atau instant messaging atau mengobrol secara online. Semua eksekutif sangat mengandalkannya.
Unsur lainnya dalam hal dilema e-mail ini adalah “mati tenggelam”. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang mengandalkan e-mail sebagai metode komunikasi yang unggul, tidak adanya jurang antara gagasan di kepala kita dan mengetik e-mail dengan gencar, disertai tembusannya kepada sepuluh orang sejawat. telah memunculkan gelombang pasang e-mail. Jumlah e-mail di bawah 100 sehari dianggap jumlah yang sedang; sampai 200 e-mail sudah menjadi sesuatu yang biasa di sejumlah industri; dan 300 atau lebih bukannya sesuatu yang ganjil.
Mengurangi Banjir E-mail, serta Strategi dan Kiat Lain para Eksekutif
Para CEO melakukan BTTA pada e-mail sama seperti pada kertas, dengan sedikit sentuhan digital:
Buang = Hapus
Teruskan = Teruskan
Tangani = Tangani
Arsipkan = Arsipkan
Tapi, segala sesuatunya mulai menjadi rumit. Berikut ini saya ceritakan sebuah riwayat kasus tentang bagaimana seorang eksekutif bergulat dengan e-mail di perusahaannya.
Di Meja Kerja Idit Harel: Menciptakan Budaya E-mail yang Produktif
Idit Harel adalah seorang pakar komputer kelahiran Israel yang bergelar Ph.D. dari MIT. Kami bertemu di gedung perkantoran yang nyaman berdinding batu-bata di perusahaannya, MaMaMedia Inc. di kawasan SoHo, New York. Di situ dia dan para pegawainya bekerja dalam lingkungan kerja yang terbuka. Tapi, sepertinya di banyak kantor, terdapat banyak sekali lalu-lintas e-mail sehingga orang menjadi kewalahan. Untuk membantu stafnya mengatasi banjir e-mail ini, Nona Harel memikirkan strategi pengelolaan e-mail untuk dirinya sendiri dan untuk tim kerjanya.
Menurut pendapatnya, tugasnya adalah menertibkan e-mail agar sesuai dengan kepentingan perusahaannya. Tiga kunci Nona Harel dalam hal pengelolaan e-mail adalah: (1) menata e-mail; (2) memunculkan tanda terima dan respons yang baik; (3) menetapkan sandi kesantunan e-mail internal melalui “konsultasi budaya”. Menata e-mail. Nona Harel berkata, “Kita harus menentukan kosakata bersama agar kita bisa memahami arti sebuah e-mail–urgensinya, seberapa mendalam kita harus mengkajinya, dan bukan sekadar tahu.”
Perkakas utama adalah untuk memastikan bahwa e-mail memiliki judul topik. Untuk menyusun judul topik yang jitu, gunakan kriteria berikut ini:
Nona Harel menunjukkan preferensinya tentang taksonomi judul topik–hal-hal yang biasa dituliskan pada kertas tempel seperti “perlu bicara” atau “penting” atau “FYI”.
“Kita perlu belajar menulis e-mail sehingga terjalin komunikasi. Pusatkan perhatian si pembaca pada hal-hal penting sehingga mereka tidak usah menyelami seluruh e-mail: ‘Baca paragraf 2.’ Seperti menstabilo pada kertas. Atau memberikan ringkasan.”
Respons dan frasa: mula-mula beri tahukan bahwa e-mail sudah diterima, lalu balas.
“Sering sekali saya menerima 200-an e-mail per hari, tapi jarang sekali saya merasa kewalahan,” begitu dia bercerita kepada saya.
“Mengapa tidak?” tanya saya. “Orang lain selalu merasa kewalahan.”
Dia mengatakan bahwa kenyamanannya disebabkan oleh pendekatan “mula-mula beri tahukan bahwa e-mail sudah diterima, lalu membalas”. “Saya selalu berusaha,” kata Nona Harel, “untuk sesegera mungkin memberi tahu bahwa e-mail sudah diterima. Tapi, orang sering salah paham bahwa kita harus cepat-cepat membalas e-mail. Saya menyusun prioritas e-mail berdasarkan kejadian yang terjadi pada hari tersebut, dengan menggunakan pendekatan dua frasa.”
Pertama-tama, Nona Harel “menangani harapan” dengan seketika itu juga memberitahukan bahwa e-mail telah diterima, dan hal ini memberinya kesempatan untuk bernapas dahulu sebelum membalas e-mail itu pada saat senggang. Dia menggunakan judul penerimaan e-mail sebagai berikut:
“Saya baru saja menerimanya. Mungkin saya akan menghubungi Anda kembali minggu depan.”
“Saya sudah menerimanya, membacanya, dan akan membacanya sekali lagi–dan saya akan membalasnya minggu depan.”
“Saya sudah menerimanya, membacanya, dan inilah jawaban singkat saya. Jawaban lebih panjang akan saya kirimkan minggu depan.”
Nona Harel menegaskan bahwa kita harus mengatur prompt tindak-lanjut sehingga kita akan membalas e-mail pada saat yang sudah kita janjikan. Kalau tidak, kredibilitas kita bisa hancur.
Kemudian dia membalas e-mail, dengan rentang waktu yang telah ditetapkannya sendiri, dengan memanfaatkan waktu luangnya–dalam taksi, di malam hari, dalam perjalanan ke tempat perjanjian untuk bertemu, dalam kereta api saat perjalanan ke kantor atau pulang, dalam lift, atau saat sedang rehat kopi di Starbuck. Dia selalu memutakhirkan keadaan sepanjang hari, mengirimkan jawabannya dalam kurun waktu tertentu, dalam selang waktu yang nyaman baginya. Cara seperti ini sangat mengurangi ketegangan yang dirasakan oleh begitu banyak orang.
Menetapkan “budaya konsultasi”. Nona Harel telah menetapkan sebuah proses yang, menurut pengalaman saya, cukup unik: rapat strategi perusahaan yang dilakukan secara teratur yang secara khusus membicarakan cara agar komunikasi lewat e-mail bersifat produktif. Mereka membahas berbagai macam perkara, antara lain yang berikut ini.
Konsultasi terus-menerus semacam itu mencerminkan sikap untuk terus-menerus membaik. Mengutip perkataan Nona Harel, “Pertahankan hal-hal yang bermanfaat, ubah hal-hal yang tidak bermanfaat.”
Enam Butir Program Kesantunan Berkirim E-mail
E-mail telah mempersingkat jurang waktu antara sebuah gagasan dan penyebarannya. Orang yang tidak menelepon seorang sejawat sebanyak lima atau enam kali sehari untuk mengobrol, tidak segan-segan mengirimkan e-mail kapan saja, disertai sepuluh CC kepada sejawat lain.
HENTIKAN!
Semua orang kewalahan menerima serangan e-mail yang membanjir. Untuk berbaik hati kepada sejawat Anda, pertimbangkanlah keenam butir ini setiap kali Anda secara impulsif ingin mengirimkan e-mail.
Sumber: disalin dari buku “Organized for Success” karangan Stephanie Winston, terbitan B-first, hal. 41-48.