Mengapa kota yang padat baik untuk kesehatan, bahkan selama pandemi

By intermedia 7 Min Read
7 Min Read

samjapan/Shutterstock

Deepti Adlakha, Queen’s University Belfast dan James F Sallis, University of California San Diego

Wabah penyakit membentuk perkotaan kita. Masalah kesehatan berpengaruh dalam beberapa perkembangan paling menonjol dalam perencanaan kota.

Sistem pembuangan limbah dikembangkan di London, Inggris, sebagai respons terhadap wabah kolera pada abad ke-19. Di Amerika Serikat (AS) pada pergantian abad ke-20, taman kota menjadi cara yang populer (walau mungkin tidak efektif) untuk menawarkan udara yang lebih bersih , untuk melindungi warga dari penyakit seperti tuberkulosis.

Penyebaran COVID-19 di beberapa kota besar telah menimbulkan kekhawatiran tentang kepadatan penduduk – jumlah orang yang menghuni daerah urban tertentu.

Trotoar, gedung dan ruang publik yang ramai membuat jarak fisik menjadi sulit, sehingga meningkatkan risiko penularan.

Kritik terhadap kepadatan ini telah ada sejak akhir abad ke-19, ketika beberapa pemimpin warga AS berpendapat bahwa penyakit dan kemiskinan berasal dari kondisi yang padat dan tidak bersih di kota-kota besar.

Namun, pendapat bahwa padatnya penduduk itu tidak sehat adalah penyederhanaan yang berlebihan dan menyesatkan dalam hal COVID-19.

Temuan dari penelitian kami menunjukkan bahwa hampir tidak ada hubungan antara kepadatan 36 kota dunia (yang diukur dengan jumlah orang per kilometer persegi) dan tingkat kasus COVID-19 serta jumlah kematian.

Untuk mengendalikan COVID-19, kota-kota besar yang padat seperti Hong Kong, Tokyo dan Seoul memperkenalkan tindakan kesehatan masyarakat seperti pengujian, pelacakan kontak, isolasi, dan karantina secara tepat waktu dan menggabungkan dengan pembatasan fisik dan pemakaian masker.

Langkah-langkah ini telah efektif dalam menahan wabah virus, meski kepadatan penduduk yang tinggi meningkatkan risiko infeksi.

BACA JUGA:   Perlu pendanaan bersama untuk menyelamatkan laut yang semakin rusak. Bagaimana mewujudkannya?

Dalam menentukan seberapa rentan penduduk kota terhadap COVID-19, kepadatan kemungkinan hanya menjadi salah satu dari beberapa faktor kunci.

Sebaliknya, masalah utama adalah kurangnya ruang, baik ruang pribadi maupun ruang publik yang lebih luas.

Lima wilayah dengan ruang publik dan pribadi paling sempit di Inggris telah mengalami 70% lebih banyak kasus COVID-19 dibanding lima wilayah dengan ruang paling luas, bahkan setelah adanya penanganan lokal.

Masalahnya bukan pada berapa banyak orang yang tinggal di daerah tertentu, tapi pada kondisi tempat mereka tinggal.

Mengurangi kepadatan kota akan memperburuk kesehatan

Mengingat hal di atas, kami prihatin dengan rekomendasi untuk mengurangi kepadatan penduduk perkotaan dan menggalakkan kehidupan pinggiran kota dalam upaya untuk mengendalikan COVID-19.

Kepadatan perkotaan bukan pendorong utama COVID-19; kepadatan justru bermanfaat bagi kesehatan.

Lebih dari 20 tahun penelitian menunjukkan kepadatan perkotaan yang lebih tinggi berkaitan dengan risiko penyakit kronis yang lebih rendah, seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.

Hal ini sebagian besar karena orang-orang yang ada di wilayah kepadatan tinggi lebih aktif secara fisik. Wilayah mereka lebih ramah pejalan kaki, artinya mereka lebih sering berjalan ke toko-toko terdekat, sekolah, dan layanan lainnya.

Mengurangi kepadatan kota kemungkinan besar akan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan, meningkatkan tingkat penyakit tidak menular yang disebutkan di atas.

Menurunkan kepadatan kota akan meningkatkan permintaan akan transportasi. Pada masa depan, mobil pribadi mungkin lebih disukai daripada transportasi umum karena meminimalkan kontak sosial, menurunkan risiko penyakit.

Tetapi kendaraan pribadi akan meningkatkan risiko penyakit tidak menular karena orang tidak aktif selama berkendara, penyakit pernapasan karena polusi udara, cedera, dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

BACA JUGA:   Penghapusan premium dan pertalite tak cukup menekan emisi BBM, standar kuno bensin Indonesia harus dirombak

Ditambah lagi, pembangunan wilayah pinggiran kota yang berpusat pada penggunaan mobil menciptakan ketidakadilan.

Tuntutan memiliki mobil merupakan beban bagi orang yang tidak mampu membelinya (atau tidak mau).

Rumah tangga berpendapatan rendah, penyandang disabilitas, dan lansia yang tidak dapat lagi mengemudikan mobil akan menghadapi ketidakadilan yang lebih besar dalam mengakses perumahan, pendidikan, fasilitas hiburan dan peluang kerja yang terjangkau.

Mencari solusi yang lebih baik

Cara yang lebih baik untuk melindungi kesehatan adalah dengan memberi orang lebih banyak ruang untuk aktif di lingkungan mereka, misalnya ruang untuk berjalan dan bersepeda.

Ini kemungkinan memiliki manfaat ganda, baik mengurangi penyebaran COVID-19 dengan mengurangi kepadatan di jalan-jalan dan menurunkan risiko penyakit kronis yang mematikan.

Memastikan adanya lebih banyak pilihan untuk aktivitas fisik luar ruangan pada masyarakat berpenghasilan rendah juga akan mengurangi ketidaksetaraan kesehatan.

Rumah tangga berpendapatan rendah lebih cenderung tinggal di unit perumahan yang penuh dan sesak, yang muncul sebagai pusat infeksi COVID-19. Dalam kondisi sempit dengan kurangnya ruang pribadi, hampir tidak mungkin untuk mengikuti pedoman isolasi diri.

Area perumahan penduduk berpenghasilan rendah mungkin juga memiliki lebih sedikit ruang terbuka publik, yang menambah masalah kepadatan penduduk, risiko infeksi coronavirus mungkin 20 kali lebih tinggi ketika di dalam ruangan daripada di luar rumah.

Ada juga hubungan yang kuat antara olahraga di luar ruangan dan sistem kekebalan tubuh yang kuat.

Jadi bagi penghuni di perumahan sempit tanpa ruangan luar pribadi, taman lokal dapat menawarkan kelegaan dan mengurangi paparan penyakit menular.

Jika taman tidak tersedia, mengalokasikan lebih banyak area di jalan untuk berjalan dan bersepeda akan menjadi penting.

BACA JUGA:   Dilema pangan ramah iklim yang bernutrisi dan terjangkau di Indonesia. Bagaimana cara mengatasinya?

Beberapa kota sudah menerapkan tindakan sementara untuk membuat jalan lebih aman bagi pejalan kaki dan pesepeda, seperti realokasi ruang jalan jauh dari kendaraan bermotor dan menurunkan batas kecepatan.

Banyak temuan menunjukkan bahwa kita seharusnya tidak membiarkan COVID-19 menjadi alasan pengurangan kepadatan kota.

Ya, upaya diperlukan untuk mengurangi kepadatan yang ekstrem, seperti di daerah kumuh, dan memberi orang-orang di setiap lingkungan dengan ruangan luar yang cukup untuk jarak fisik.

Tapi kepadatan kota secara umum tidak memiliki hubungan kuat dengan kasus COVID-19 dan kematian.

Sebaliknya, kepadatan kota merupakan komponen penting dari konsep masyarakat pejalan kaki; ini dapat melindungi orang dari penyakit kronis.


Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari bahasa Inggris.The Conversation

Deepti Adlakha, Lecturer (Assistant Professor) in Environmental Planning, Queen’s University Belfast dan James F Sallis, Professor of Family Medicine, University of California San Diego

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article