Tiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan

By intermedia 7 Min Read
7 Min Read

Muhamad Bill Robby, PUSKAPA; Chaula Rininta Anindya, Ritsumeikan University, dan Putri K. Amanda, PUSKAPA

Dalam menangani kasus terorisme, pemerintah Indonesia seringkali mengandalkan pendekatan keamanan, misalnya dengan banyak melakukan penangkapan terhadap terduga kelompok terorisme.

Meski penangkapan telah banyak dilakukan, insiden seperti bom bunuh diri masih terus terjadi. Bahkan, beberapa di antaranya dilatarbelakangi keinginan balas dendam pelaku atas penangkapan yang dilakukan terhadap anggota kelompok mereka.

Ini dapat mengindikasikan bahwa pendekatan keamanan hanya efektif untuk merespons insiden terkini, namun tidak efektif sebagai solusi jangka panjang.

Sementara itu, strategi penanggulangan terorisme secara global telah berkembang sehingga tidak terbatas pada pendekatan keamanan saja, tapi juga melibatkan pendekatan lain seperti melalui sektor pendidikan.

Seorang anak mewarnai gambar tentang keberagaman agama di Indonesia dalam perlombaan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kegiatan ini sebagai upaya mendidik anak-anak tentang nilai toleransi beragama di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Pendidikan yang berkualitas dapat menciptakan kondisi yang membuat radikalisme sulit tumbuh serta membangun ketahanan untuk mencegah anak menyerap ideologi tersebut.

Melalui tulisan ini, kami merekomendasikan tiga cara agar sistem pendidikan Indonesia dapat mendukung pencegahan tumbuhnya radikalisme.

1. Bangun kurikulum berpikir kritis

Kelompok terorisme kerap menyebarkan ideologi mereka melalui propaganda yang menggugah.

Artinya, salah satu cara terbaik untuk memutusnya adalah dengan mempromosikan muatan kurikulum berpikir kritis.

Kurikulum berpikir kritis dapat membangun kemampuan anak untuk menyelesaikan masalah dan melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang beragam – terutama masalah terkait identitas, keberagaman, dan ideologi yang muncul seiring mereka tumbuh dewasa.

BACA JUGA:   Menggunakan karya sastra untuk meramalkan perkotaan masa depan

Menurut studi yang dilakukan di Hong Kong pada 2019, kemampuan berpikir kritis dapat menurunkan sikap etnosentrisme – atau anggapan bahwa budaya dan cara pandang mereka adalah yang terbaik – di antara para partisipan.

Dalam konteks radikalisme, kemampuan berpikir kritis ini diharapkan membuat anak menjadi lebih skeptis terhadap penyelesaian berbagai masalah dan konflik melalui cara-cara kekerasan.

Indonesia pada tahun ini mulai berupaya memasukkan muatan berpikir kritis di lingkup pendidikan sebagai strategi pencegahan ekstremisme dan ideologi kekerasan, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021.

Langkah ini patut diapresiasi karena di antaranya memuat kurikulum berpikir kritis sejak sekolah dasar (SD) hingga pendidikan tinggi. Strategi ini juga sejalan dengan rekomendasi praktik global untuk mengajarkan berpikir kritis sedini mungkin sesuai perkembangan kognitif anak.

2. Gencarkan pendidikan literasi media

Kelompok terorisme seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan propaganda dan merekrut anggota baru.

Strategi tersebut berhasil memengaruhi banyak warga Indonesia untuk berangkat ke wilayah konflik dan berjuang di bawah bendera ISIS.

Beberapa kelompok terorisme biasanya menggunakan kewajiban agama sebagai propaganda untuk menggalang dukungan. Masalah sosial lain seperti kemiskinan dan ketimpangan juga dimanfaatkan sebagai pesan yang memikat banyak orang untuk bergabung.

Untuk mencegahnya, sistem pendidikan dapat menyediakan muatan literasi media agar anak memiliki kemampuan dalam memilih dan mengevaluasi informasi yang dikonsumsi.

Dua pelajar memilih buku di perpustakaan keliling pada saat Hari Aksara Internasional di Jawa Timur.
(ANTARA FOTO/Umarul Faruq)

Beberapa praktik yang bisa dilakukan adalah dengan melatih keterampilan dasar anak untuk melakukan verifikasi sumber informasi, sehingga anak dapat menilai validitas dan keaslian suatu informasi saat mengonsumsinya via berbagai platform media.

BACA JUGA:   Bagaimana membantu anak dengan pelajaran matematika yang tidak Anda pahami

Sebuah studi yang dilakukan pada lebih dari 500 guru dan murid di Inggris, misalnya, menemukan bahwa 1 dari 4 anak tidak melakukan pengecekan atau verifikasi ketika mengunjungi situs daring yang baru dikunjungi. Selain itu, hanya terdapat 1 dari 10 yang mempertanyakan tujuan dan latar belakang berbagai situs di internet.

Harapannya, berbagai praktik di atas dapat membantu anak untuk tidak mudah terperangkap dalam pesan-pesan kekerasan ketika berhadapan dengan propaganda bermuatan radikalisme.

3. Bangun ruang yang aman bagi anak untuk berdiskusi dan berpendapat

Dua rekomendasi di atas hanya akan dapat terlaksana jika anak mendapatkan kesempatan sebanyak-banyaknya untuk melatih cara mereka berpikir.

Tentunya ini tidak terlepas dari seberapa terbuka dan aman lingkungan sekitar menerima pendapat anak.

Salah satu lingkungan terdekat anak, yakni sekolah, dapat berperan dengan cara menerapkan praktik pembelajaran yang membantu anak memahami berbagai topik dan materi yang kompleks yang biasanya tabu – dari agama, identitas, hingga tradisi – secara lebih terbuka.

Dengan iklim belajar seperti ini, anak akan semakin terlatih untuk menghormati proses diskusi dan berani mempertanyakan kembali berbagai asumsi, prasangka, dan bias yang selama ini mereka yakini.

Salah satu praktik yang dapat diterapkan adalah membangun ruang diskusi di kelas untuk menceritakan pengalaman pribadi anak mengenai berbagai topik menantang di atas.

Mendengarkan cerita dari teman-teman mereka akan membantu anak membangun empati terhadap beragam sudut pandang yang berbeda.

Merancang pendidikan anti-radikalisme: jalan panjang ke depan

Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi tiga rekomendasi di atas.

Kita masih menemui berbagai hambatan terkait akses pendidikan yang terbatas, kualitas dan ketersediaan tenaga pengajar yang masih rendah, fasilitas pendidikan yang tidak merata, serta kurikulum yang terus berubah setiap tahun tanpa proses evaluasi yang memadai.

BACA JUGA:   Apa yang akan terjadi jika bumi berhenti berputar?

Jika akses dan kualitas pendidikan belum merata, misalnya, akan selalu ada anak yang lebih berisiko terpapar radikalisme – sebaik apa pun program pencegahan yang ada.

Terbitnya Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme dapat menjadi momentum untuk memperbaki hal ini.

Harapannya, kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melawan radikalisme – terutama di lingkup pendidikan – tak lagi hanya jargon semata. Melawan kelompok terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif, bukan hanya pendekatan keamanan saja.

Pemerintah dan sistem pendidikan juga perlu memastikan agar tidak ada kebijakan yang justru menghambat, seperti mengeluarkan anak dari sekolah, membuat kebijakan diskriminatif, atau bentuk hukuman lainnya karena anak menyampaikan pendapat.

Pendidikan adalah garda terdepan untuk mengajak anak dan kaum muda menjauh dari kelompok terorisme.

Pendekatan seperti kurikulum berpikir kritis dan literasi media, serta lingkungan aman untuk anak berpendapat adalah investasi jangka panjang dan kesempatan terbaik untuk mencegah perkembangan radikalisme.The Conversation

Muhamad Bill Robby, Research and advocacy assistant, PUSKAPA; Chaula Rininta Anindya, PhD Student in International Relations, Ritsumeikan University, dan Putri K. Amanda, Head of Programs, PUSKAPA

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Share This Article