Dampak Media Sosial pada Kesehatan Mental Eksistensial Kita

By intermedia 4 Min Read
4 Min Read

Bicara soal media sosial, maka pikiran kita bisa langsung terhubung dengan sesuatu yang penuh ceria, jalinan persahabatan digital, atau berita hebat tentang adopsi kucing sambil menyantap kue.

Rasanya satu dunia yang terbuka, dengan peluang dan kebaikan di setiap ujung layar dan klik.

Namun, ada juga sisi lain yang mungkin terkubur begitu dalam seperti mayat di kuburan kota, yang sering kurang kita perhatikan, yaitu dampak-dampak psikologis yang mungkin kita alami.

Tarik Menarik yang Tak Terelakkan

Media sosial mempunyai daya tarik yang memukau, ibarat pesona sihir dari cerita dongeng.

Bangun pagi … yang dilakukan pertama kali mengecek notifikasi. Hingga tatapan terakhir sebelum tertidur, masih dalam kondisi memegang gadget.

Platform-platform ini seperti magnet modern yang tak bisa dilepaskan. Adiksi jempol dan mata yang menyisakan tanda tak terungkap adalah pelarian jendela kecil dari rutinitas.

Kita menggemakan bunga-bungaan kebahagiaan atau keberhasilan tanpa akar di dunia maya, seperti panggung bimbang yang serba memuaskan.

Sisi di Balik Layar

Namun, apa sebenarnya yang kita sembunyikan dalam tabir maya dari highlight kehidupan kita dan orang lain?

Bagian gelap yang tak pernah muncul dalam potret sehari-hari di akun media sosial, yang seringkali lebih menghantui daripada bayang-bayang.

Budaya perbandingan yang tak terhentikan, yang tanpa sadar kita dan generasi berikutnya telah menjadi karakter utama.

Cyberbullying yang meracuni pengalaman daring membuat banyak kita justru makin kecut atau makin pedas. Kita jadi makin kesepian di tengah hingar bingar keramaian.

Seakan berada dalam kebingungan akut di dapur kehidupan … yang selalu siap disaji dengan taksiran-taksiran sempurna.

BACA JUGA:   Penemuan pertama di dunia memungkinkan pengobatan lupus jangka panjang yang efektif

Cerminan Pribadi

Bagi sebagian orang, media sosial saat ini bisa jadi bukan lagi hanya tentang kesenangan tanpa beban.

Detik-detik terendah hidupnya makin terbelah-belah oleh “teroris online” tanpa wajah … hingga dapat melahirkan keputusasaan yang menggelayut di benak, setelah maraton scrolling tanpa tujuan.

Ya, seperti kisah Cinderella yang tak pernah berakhir di pelaminan, keceriaan memang juga sering hanyalah sesuatu yang semu.

Harus diakui, kita sebenarnya makin terbiasa melangkahkan kaki ke dalam labirin itu, memperkaya orang-orang, ide, dan tragedi yang seakan tak bisa lepas.

Namun, tetap saja kesepian tak henti bersahut-sahutan, mengantarkan pandangan kita yang tak lagi ada di masa kini.

Panggilan untuk Bertindak

Mari kita turut serta memeriahkan lalu lintas digital yang lebih bermakna, yang tidak hanya indah dipandang, tetapi juga layak untuk diurai.

Memang tak ada solusi instan, tetapi keberanian untuk menghadapinyalah yang sangat dibutuhkan.

Saya mengajak, saat memegang ujung-ujung tombol media sosial, kita masih belum terlambat untuk mengatur dan menata kembali alur dan jumlah “air” yang akan kita teruskan ke tubuh kita, secara harafiah dan metaforis.

Mungkin kita bisa mulail dengan berhenti membandingkan, untuk lalu melangkah beriringan.

Hidup ini, data terlengkapnya hanyalah kita sendiri, oleh, karena, dan untuk kita.

Be the light or the lighthouse, karena seperti layaknya lalu lintas, kita bisa memilih untuk jadi bagian dari kekacauan atau justru memilih untuk jadi pemberi petunjuk.

Bagaimana menurut Anda?

Share This Article